Guru juga manusia. Sama seperti profesi lainnya.
Beberapa teman guru mengungkapkan pernyataan dan isi hati, memperlihatkan kalau mereka tidak suka sekolah.
Yang pertama, Donna (bukan nama sebenarnya), salah seorang kenalan yang berprofesi sebagai guru piano di sebuah lembaga pendidikan musik di Jakarta.
Dia secara terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak suka sekolah sewaktu saya menyarankan dia untuk memiliki kebiasaan menulis.
"Aku tidak suka sekolah!" ujarnya lugas.
"Apakah menulis selalu diidentikkan dengan sekolah?" tanya saya balik.
Donna terdiam.
Yah, saya tidak menyalahkannya. Wajar dia berpikiran seperti itu, karena selain pekerjaannya yang mungkin tidak berhubungan langsung dengan tulis-menulis, juga karena, "barangkali", kalau tebakan saya benar, pengalaman Donna sewaktu bersekolah dulu yang tidak menyenangkan.
Contoh kedua, Adi (nama samaran). Teman saya ini adalah pensiunan guru SD Negeri di Samarinda. Selama aktif mengajar dulu sampai menjelang masa pensiun, beliau "hanya" menggunakan satu metode mengajar, yaitu metode ceramah.
"Anak-anak terpesona kalau mendengar pengalaman saya waktu liburan di Borobudur, Prambanan, Bali, dan lain-lainnya," Adi berkata dengan bangga.
"Waktu bapak ceritakan di depan kelas, tidak ada foto-foto Bapak waktu di sana?" tanya saya.
"Tidak ada," jawabnya singkat.
Di saat lain, ketika Pak Adi melihat saya sibuk mempersiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), beliau malah mengatakan, "Saya tidak perlu mempersiapkan RPP. Ilmu sudah di otak karena sudah bertahun-tahun mengajar," Adi menunjuk dahi dengan telunjuk kanannya," Jangan dibodohi kerjaan, Pak Anton."
Contoh yang ketiga, Santi, sebut saja begitu, seorang kenalan yang berprofesi sebagai guru Taman Kanak-kanak (TK) di salah satu TK Negeri di Samarinda. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN), pengabdiannya sudah tidak diragukan lagi.
Sayangnya, pernyataannya membuyarkan semua pengalaman itu
Beliau berkata, "Ngajar rajin dan malas sama saja. Gaji tetap sama. Yang dilihat itu masa kerja, bukan kinerja, kalau bicara tentang kenaikan gaji dan tunjangan."
Yang keempat, Surti (nama samaran), seorang kenalan yang "memalsukan" terhitung masa tugas (TMT). Masa kerjanya yang cuma baru seumur tiga tahun, dia "sulap" menjadi tujuh tahun di SK Awal!
Saya tidak mengajar di sekolah yang sama dengan Surti. Saya mengetahui tentang "sepak terjang" Surti dari salah seorang teman, sebut saja David, yang merasa diperlakukan tidak adil.
"Masa aku yang masuk tahun 2003 cuma dimajukan setahun jadi 2002, sedangkan Surti yang masuknya di tahun 2006 dituakan empat tahun ke 2002, sama dengan aku! Di mana keadilannya?" gerutu David di tahun 2009 lalu, dimana lagi marak pemberkasan guru honorer yang dijanjikan akan diangkat menjadi PNS.
Karena merasa diperlakukan tidak adil, David memutuskan resign sebagai guru honorer di SD Negeri tersebut. Surti, di lain sisi, tetap bertahan, meskipun sempat ketahuan akan" keaslian" SK yang sebenarnya palsu, namun akhirnya tetap diangkat menjadi PNS.Â
Dasar pertimbangan? Entahlah.
Contoh kelima, Alvin (bukan nama sebenarnya), salah seorang teman yang berprofesi sebagai guru ASN di salah satu SMK Negeri terkemuka di Samarinda.
Sebagai guru di salah satu SMK favorit, harapan (mungkin tepatnya anggapan) masyarakat adalah para guru di SMK tersebut mempunyai kemampuan yang mumpuni, baik dari segi teknik metode mengajar, penguasaan teknologi, dan lain sebagainya.
Faktanya? Teman saya ini membeberkan bahwa hanya segelintir guru di SMK-nya yang memang cetar membahana dalam segi kompetensi diri.
"Saya saja tidak menguasai komputer sampai mendalam. Saya hanya menggunakan media ajar dari unduhan internet. Saya tidak bisa buat sendiri media pembelajaran di PowerPoint," kata Alvin lugas.
Saya cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar perkataan Alvin.
Mengapa ada beberapa guru yang tidak suka sekolah?
Menurut saya, lima guru yang saya kenal sebelumnya mempunyai ketidaksukaan akan sekolah.
Analisis saya tentang alasan-alasan mereka:
1. Stigma "membaca dan menulis" sebagai kewajiban yang membosankan
Kalau kebencian akan membaca dan (khususnya) menulis menerpa profesi lain di luar guru, mungkin bisa dimaklumi. Anehnya, justru dari sekian banyak guru yang saya kenal, kebanyakan dari mereka tidak suka membaca dan menulis.
Terlihat sangat "umum" dalam kehidupan sehari-hari. Mayoritas dari mereka umumnya suka bergerombol di kantin sekolah atau warung terdekat. Bisa juga berkumpul bareng di ruang guru sambil menikmati gorengan dan merumpi.
Membaca dan menulis?
Jauh dari angan-angan dan kenyataan.
2. Profesi guru diemban karena tidak ada pilihan lain
Keterpaksaan di masa lalu. Bisa jadi itu yang mendasari Adi dalam keseharian mengajar yang begitu-begitu saja.
"Dulu, setelah lulus SMA, ada tawaran kerja menjadi guru. Dulu, gaji guru tidak besar, dan sedikit orang yang berminat. Karena tidak ada pekerjaan, saya terima profesi sebagai guru SD," kata Adi suatu kali dulu.
Yah, saya juga termasuk salah satunya. Tidak ada pilihan lain selain menjadi guru saat pertama kali mencari pekerjaan. Namun ada kecintaan setelah menggeluti sekian lama. Ingin memberikan sumbangsih dalam dunia pendidikan.
Tapi bagi beberapa guru yang merasa "terpaksa" karena tidak ada pilihan profesi yang lain, mengemban profesi guru hanya sekadar menjalani saja.
3. Malas memberikan yang terbaik karena penilaian kinerja yang tidak jelas
"Tidak jelas? Kan ada supervisi..."
Mungkin Anda berpikiran seperti ini.
Bagi kebanyakan dari guru-guru ASN yang saya kenal, mereka mengaku kecewa sudah bekerja sekuat tenaga di awal karier, tapi nilai kinerja sama dengan guru-guru yang "malas" di waktu supervisi. Penilaian kinerja di hari-hari biasa tidak mendapat perhatian.
Kejomplangan disiplin menyebabkan guru-guru ASN yang awalnya rajin menjadi cuek. Meskipun penilaian kinerja tercapai dan mendapat nilai tinggi namun terkesan formalitas untuk laporan dan tidak jelas tindak lanjut ke depan, dan yang terutama, tidak mempengaruhi kenaikan gaji secara signifikan.
4. Berbohong dengan dalih keluarga untuk meraih masa depan status aman
Kasus Surti bukan satu-satunya. Saya juga kenal beberapa kenalan guru PNS yang dulu memalsukan SK awal saat pemberkasan guru honorer beberapa tahun yang lalu.
Apa pun alasannya, berbohong, berdusta bukanlah hal yang baik untuk dilakukan, apalagi oleh seorang guru.
Bisa dipastikan, mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak jujur akan menimbulkan hasil yang tidak baik juga kelak.
Surti bekerja dengan asal saja. Cuma menjalankan tugas.
5. Merasa aman, jadi malas mengembangkan diri
Terkadang menjadi "pegawai tetap" bisa menjadi racun bagi pola pikir dimana keinginan untuk terus mengembangkan kemampuan diri malah jadi merosot.
Kebanyakan teman yang berstatus sebagai guru PNS mempunyai pandangan seperti itu. Malas mengembangkan diri.
Memang ada beberapa yang mempunyai dedikasi dan komitmen untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan dalam mengajar, tetapi cuma ada segelintir saja. Bisa dihitung dengan jari.
Sedikit saran....
Yah, sebenarnya bukan hanya guru. Profesi- profesi lain juga bisa merasa jenuh dan tidak berkembang. Namun seperti yang sudah diketahui oleh masyarakat umum bahwa guru digugu dan ditiru, sudah seharusnya guru menjadi contoh yang baik, bukan hanya untuk peserta didik, namun juga masyarakat luas.
Oleh karena itu, saya memberikan sedikit saran bagi para rekan guru. Bukannya ingin menggurui, tapi hanya ingin menyampaikan pandangan.
Ada 5 (lima) saran saya:
1. Jadilah panutan dalam hal membaca dan menulis
Tidak susah untuk menebak guru yang suka sekolah dan yang tidak.
Guru yang tidak suka sekolah terlihat dari kebiasaan sehari-harinya. Apabila sang guru suka membaca dan menulis, maka otomatis bisa dikatakan bahwa guru tersebut suka dalam proses membaca dan menulis, dan oleh karena itu dikatakan kalau dia suka sekolah
Kalau Anda sebagai guru yang tidak suka membaca dan menulis, bertobatlah! Jadilah panutan bagi peserta didik dalam hal membaca dan menulis. Jangan memberi banyak wejangan tentang pentingnya membaca dan menulis, tetapi diri sendiri malah malas melakukan kedua hal itu.
2. Tetapkan komitmen menjadi guru yang berdedikasi
Memang kalau bicara masalah dedikasi, sangat sukar mengukurnya, karena menyangkut apa yang ada di dalam hati. Tapi apa yang dilakukan sudah menunjukkan apakah guru tersebut termasuk sosok berdedikasi atau tidak.
Terlihat dengan nyata dari kelakuan, perbuatan sehari-hari, dimulai dari disiplin datang tepat waktu (atau malah sebelum waktu mengajar, diri sudah datang).
Disiplin terpenuhi? Bagaimana dengan metode mengajar yang digunakan guru tersebut? Apakah tetap dengan menggunakan metode ceramah dan tidak meng-upgrade kemampuan diri?
Komitmen seratus persen mengabdikan hidup untuk mengajar dan mendidik semaksimal mungkin. Seharusnya itu menjadi pegangan dan pedoman di dalam hati
3. Berikan yang terbaik dalam menjalankan profesi guru
Dalam hal ini, terbaik bukan berarti harus sempurna, karena tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata.Â
Yang dimaksud terbaik di sini adalah berikan yang paling baik yang bisa Anda lakukan dalam menjalankan profesi guru. Jangan setengah-setengah. Karena bekerja adalah ibadah juga, apalagi sebagai guru yang mempersiapkan peserta didik sebagai calon pemimpin di masa depan.
4.Jadilah teladan dalam nilai kejujuran
Guru, digugu dan ditiru. Apa yang guru ucapkan, apa yang guru lakukan, semua itu akan ditiru, akan dilakukan, akan diucapkan oleh peserta didik.
Jadilah teladan dalam nilai kejujuran. Jangan sampai mengajarkan perihal jujur kepada peserta didik, tetapi diri sendiri malah melukiskan kebohongan dalam perbuatan sehari-hari.
5. Mengembangkan diri dalam segi kompetensi secara terus menerus
Sampai pensiun tidak bisa mengoperasikan komputer? Beberapa teman guru PNS sudah memperlihatkan hal tersebut.Â
Dari awal bertugas sampai pensiun, mereka tidak tahu-menahu perihal mengoperasikan komputer. Jangankan mengoperasikan. Menyalakan komputer saja mereka tidak bisa.
"Takut meledak," begitu ujar Adi yang menjadi contoh kedua sebelumnya.Â
Pengalaman 30 tahun mengajar di Sekolah Dasar, tapi Adi hanya menggunakan satu metode mengajar, yaitu metode ceramah.
Tidak ada keinginan untuk mengembangkan kemampuan dalam mengajar. Bagaimana hasil mengajarnya? Entahlah.
Mengembangkan diri dalam segi kompetensi secara terus-menerus perlu selalu digelorakan oleh setiap guru, supaya proses belajar mengajar tidak sekadar "menuangkan" pengetahuan ke otak para peserta didik, namun yang terlebih penting adalah adanya penanaman nilai-nilai moral ke dalam benak peserta didik, bukan sekadar teori atau hafalan, tapi dalam bentuk praktik nyata.
Apakah Anda termasuk guru yang tidak suka sekolah?
Anda cukup menjawab dalam hati saja.
Sedangkan saya, saya tidak akan menyatakan diri suka atau benci pada sekolah.
Yang jelas, dalam keseharian, saya berusaha melakukan lima tindakan dalam saran sebelumnya semaksimal mungkin, karena saya percaya, mengajar adalah ibadah juga.
Apa yang kita tabur, itu kelak yang akan kita tuai.
Itu yang selalu saya ingat dan menjadi pedoman saya pribadi sewaktu menjalankan profesi sebagai guru.
Apa pedoman Anda?
Kiranya bisa mengarahkan ke tujuan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H