Keterpaksaan di masa lalu. Bisa jadi itu yang mendasari Adi dalam keseharian mengajar yang begitu-begitu saja.
"Dulu, setelah lulus SMA, ada tawaran kerja menjadi guru. Dulu, gaji guru tidak besar, dan sedikit orang yang berminat. Karena tidak ada pekerjaan, saya terima profesi sebagai guru SD," kata Adi suatu kali dulu.
Yah, saya juga termasuk salah satunya. Tidak ada pilihan lain selain menjadi guru saat pertama kali mencari pekerjaan. Namun ada kecintaan setelah menggeluti sekian lama. Ingin memberikan sumbangsih dalam dunia pendidikan.
Tapi bagi beberapa guru yang merasa "terpaksa" karena tidak ada pilihan profesi yang lain, mengemban profesi guru hanya sekadar menjalani saja.
3. Malas memberikan yang terbaik karena penilaian kinerja yang tidak jelas
"Tidak jelas? Kan ada supervisi..."
Mungkin Anda berpikiran seperti ini.
Bagi kebanyakan dari guru-guru ASN yang saya kenal, mereka mengaku kecewa sudah bekerja sekuat tenaga di awal karier, tapi nilai kinerja sama dengan guru-guru yang "malas" di waktu supervisi. Penilaian kinerja di hari-hari biasa tidak mendapat perhatian.
Kejomplangan disiplin menyebabkan guru-guru ASN yang awalnya rajin menjadi cuek. Meskipun penilaian kinerja tercapai dan mendapat nilai tinggi namun terkesan formalitas untuk laporan dan tidak jelas tindak lanjut ke depan, dan yang terutama, tidak mempengaruhi kenaikan gaji secara signifikan.
4. Berbohong dengan dalih keluarga untuk meraih masa depan status aman
Kasus Surti bukan satu-satunya. Saya juga kenal beberapa kenalan guru PNS yang dulu memalsukan SK awal saat pemberkasan guru honorer beberapa tahun yang lalu.
Apa pun alasannya, berbohong, berdusta bukanlah hal yang baik untuk dilakukan, apalagi oleh seorang guru.
Bisa dipastikan, mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak jujur akan menimbulkan hasil yang tidak baik juga kelak.