Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sukarnya Berbahasa Inggris di Tengah Pusaran "Dialect Shaming"

23 Januari 2021   20:49 Diperbarui: 24 Januari 2021   09:19 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak suka duka dalam berkuliah dulu. Mulai dari perkara asmara sampai mendapat nilai A dalam beberapa mata kuliah. Ada pedih saat putus cinta sampai harus mengulang satu-dua mata kuliah yang tidak lulus.

Dari sekian banyak pengalaman tersebut, ada satu yang bisa dibilang sangat membekas. Satu yang selalu terngiang di kepala.

Waktu itu saya dan teman-teman satu angkatan mengikuti suatu mata kuliah yang berhubungan dengan Speaking. Saya lupa apa nama mata kuliahnya. Yang jelas, berhubungan dengan keterampilan berbicara.

Pak Dodi (bukan nama sebenarnya) yang mengajar mata kuliah tersebut. Secara umum, beliau cukup baik dalam mengajar. Pemaparan beliau dalam mengajar cukup jelas dan metode yang beliau gunakan cukup menarik.

Sayangnya, ada blunder yang beliau lakukan, sehingga respek saya (dan mungkin juga teman-teman satu angkatan) terhadap beliau agak menurun, meskipun tidak terlalu menurun sampai ke titik nol.

Beliau mengatakan sesuatu yang mengganggu perasaan nyaman teman saya, Anwar (bukan nama sebenarnya), yang kebetulan saat itu duduk di sebelah saya.

Setelah Anwar selesai mempresentasikan topik yang menjadi tanggung jawabnya, dia kembali ke kursinya di sebelah kursi saya.

Teman yang lain maju ke depan sesudah itu. Pak Dodi waktu itu berjalan perlahan ke belakang sembari tetap mendengarkan mahasiswa yang mendapat giliran presentasi di depan kelas.

Dia berhenti di belakang kami. Saya dan Anwar duduk paling belakang karena datang belakangan. Waktu itu Pak Dodi berkata kepada Anwar, "War, kamu kok ngomongnya seperti itu tadi?"

"Maksudnya, Pak?" Anwar mengerutkan kening. Mungkin dia bingung dengan omongan Pak Dodi perihal "ngomongnya tadi".

"Tadi ngomongmu dipengaruhi oleh dialek, logat daerahmu. Kedengarannya lucu. Apa tidak bisa dihilangkan atau minimal dikurangi pengaruhnya?" Pak Dodi menjelaskan maksudnya.

"Ya, dari dulu saya ngomong seperti ini, Pak. Bagaimana saya bisa menghilangkan dialek saya?" jawab Anwar ketus.

Sejak saat itu, Anwar jengkel dengan Pak Dodi dan selalu mengingat apa yang Pak Dodi katakan perihal dialeknya yang "lucu".

Sampai lulus dan meraih gelar sarjana, Anwar masih menyimpan rasa marah terhadap Pak Dodi dan juga perasaan minder akan dialek yang dia punyai. Padahal saya sudah sering memberinya saran untuk tidak memedulikan apa kata Pak Dodi, karena setiap orang memang dipengaruhi oleh dialek bahasa ibu masing-masing.

"Sudahlah, War. Tidak usah minder. Semua orang mempunyai dialek masing-masing. Tidak usah dihiraukan kata-kata Pak Dodi..."

"Kamu enak ngomong begitu, karena kamu punya dialek yang standar, Ton. Lah aku..."

Anwar tetap kukuh dengan pendiriannya. Saya tidak bisa berbuat banyak untuk memotivasinya.

Saya sempat mendengar dari kakak laki-laki Anwar kalau Anwar pernah menjadi guru honorer di sebuah SMP di kampung halaman. Kabar yang terakhir, saya dengar dia menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Pulau Jawa.

"Dialect Shaming" telah memberikan pengaruh negatif dalam semangat berbahasa Inggris

Kalau body shaming menjadikan fisik seseorang sebagai "sasaran tembak", candaan dan penghinaan, maka dialect shaming mengacu pada mengolok dialek seseorang.

Sebetulnya dialect shaming bukan hal baru. Sudah banyak hal yang berkaitan dengan itu terjadi di antara siswa dan mahasiswa, dan selama saya bersekolah dan berkuliah, hal seperti itu sudah tak asing. 

Tanggapan saya tentang itu tentu saja tidak menyetujui dialect shaming khususnya dalam proses menguasai bahasa asing, semisal bahasa Inggris.

Sayangnya, salah satu contoh perundung adalah seorang dosen. Sangat disayangkan. Mudah-mudahan beliau sadar akan kesalahannya. Saya sudah lama tidak mendengar kabar tentang beliau.

Dalam kasus Anwar, dia dulu pernah bertekad tidak mau menjadi guru bahasa Inggris karena malu dengan dialeknya.

Begitu juga dengan Gunadi (nama samaran) yang malu karena diolok-olok murid-muridnya sewaktu Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA. "Dialekku diolok-olok murid-muridku. Jengkel aku," kata Gunadi, menceritakan pengalamannya dulu waktu PPL.

Menurut saya, dari penelaahan selama bertahun-tahun mengajar bahasa Inggris, ada dua alasan kenapa dialect shaming bisa terjadi.

1. Perasaan superior pada diri sendiri

Merasa diri hebat adalah hal yang menjadi penyebab seseorang menghina orang lain akan kekurangan diri, padahal diri sendiri bukan sosok yang sempurna.

Perasaan superior juga bisa menyebabkan seseorang merasa berada dalam zona nyaman dan tidak berupaya untuk mengembangkan diri lebih lanjut, karena sudah merasa tingkat kemampuannya tinggi.

Secara pribadi, selama dua puluh tahun mengabdi sebagai guru, sudah banyak saya menemui dialek yang bervariasi dari peserta didik. Bagi saya, sejauh dapat dipahami pesan lisan yang disampaikan, tidak menjadi masalah apapun dialek yang melatarbelakanginya.

2. Menganggap dialek dari daerah lain "aneh"

Sudah tahu kita berada di suatu negara yang mempunyai 34 provinsi dengan berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan; tapi masih ada saja yang merasa diri lebih tinggi dan menganggap dialek dari daerah lain "aneh".

Pak Dodi, herannya, kok bisa menganggap dialek Anwar "aneh", padahal beliau sudah cukup sering ke berbagai daerah lain, entah untuk urusan mengajar kuliah di universitas lain, atau sekadar untuk studi banding.

Sekelas dosen saja bisa "lupa" akan perbedaan dialek. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dengan sudut pandang kebanyakan warga yang selama hidup jarang bersosialisasi dengan beragam "dialek" dari sejumlah kenalan.

Bagaimana membasmi dialect shaming?

Tentu saja, tidak mudah membasmi dialect shaming, karena masalah SARA di Indonesia sudah terlalu lama mengakar.

Dalam hal ini, saya menyoroti masalah membasmi dalam konteks semangat berbahasa Inggris pada khususnya, dan berbahasa Indonesia pada umumnya, supaya tidak ada lagi, atau paling tidak, bisa mengurangi kecenderungan warga dalam merundung orang lain perihal dialek.

Setelah melewati beberapa purnama, saya menyimpulkan bahwa ada tiga hal yang perlu dicermati supaya dialect shaming tidak terjadi (lagi).

1. Terima perbedaan sebagai kekayaan dialek bahasa di dunia

Sebenarnya tidak perlu heran dengan perbedaan dialek. Seharusnya kita harus bersyukur bahwa di bumi Nusantara ini ada banyak suku dengan beragam dialek dan membuat iri beberapa kenalan bule di masa lalu.

Mr.Donald (bukan nama sebenarnya), salah seorang dosen yang berasal dari Amerika Serikat sangat iri dengan keberagaman yang dipunyai Indonesia. 

"You are very lucky that you live in Indonesia. Indonesia has many tribes with unique cultures and dialects. I also like the hospitality of Indonesian..."

Mr.Donald mengatakan kalau saya sangat beruntung karena tinggal di Indonesia. Indonesia mempunyai banyak suku dengan kebudayaan dan dialek yang unik. Dia juga suka keramahtamahan penduduk Indonesia.

Orang luar saja menerima perbedaan sebagai kekayaan dialek bahasa di dunia, masa kita tidak bisa menerima?

Siapa tahu setelah British English, American English, Australian English, dan Singapore English; nanti akan muncul Indonesian English, atau malah bahkan English dari dialek tertentu yang didasari dari berbagai suku di Indonesia. Itu bisa saja terjadi.

Syaratnya supaya terwujud semua itu adalah kita harus menerima perbedaan sebagai kekayaan dialek bahasa di dunia.

2. Tidak ada yang sempurna di dunia ini

Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata. Jadi, sebelum menilai diri lebih tinggi, sebelum menilai kekurangan orang lain, nilai diri sendiri terlebih dahulu, terutama kekurangan diri.

Pak Dodi sendiri sebenarnya juga tidak "sempurna" dalam mengucapkan beberapa kata bahasa Inggris dengan tepat dan akurat. Beliau sendiri mengakui kekurangan dirinya dalam mengucapkan beberapa kata bahasa Inggris.

Sebagai contoh, pengucapan "tree" dan "three". Dulu sebelum kuliah, saya pikir akan sulit membedakan kata apa yang dimaksud jika tidak dimasukkan dalam suatu kalimat. Saya pikir "tree" dan"three" sama-sama diucapkan /tri:/.

Ternyata berbeda. 

Untuk 'tree' diucapkan /tri:/, tetapi 'three' dilafalkan seperti /sri/.

Itu baru satu hal yang pengucapan dengan awalan 'th-' yang susah diucapkan oleh lidah orang Indonesia. Masih banyak lagi hal-hal lain dalam bahasa Inggris yang susah dilafalkan oleh orang Indonesia karena memang tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Intinya, tidak perlu resek dengan kekurangan orang lain, karena mungkin orang tersebut bisa mengucapkan kata-kata tertentu dan Anda tidak bisa mengucapkan kata-kata itu.

3. Pesan yang dapat dipahami itu lebih baik daripada sekadar indahnya "kulit luar" dialek

Apakah Anda pernah melihat beberapa kenalan yang berusaha untuk berbicara seperti artis idola atau pesohor?

Saya sering melihat hal-hal tersebut. Dari dulu sampai sekarang. Beberapa kenalan meniru gaya bicara artis film idola, penyanyi luar negeri yang menjadi favoritnya, atau selebritas terkenal lainnya.

Misalnya, salah seorang kenalan sewaktu kuliah, sebut saja Hendra, sangat mengidolakan David Beckham, pesepak bola dari Inggris, dan dia berbicara meniru gaya bicara Beckham.

Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Sah-sah saja. Namun menjadi permasalahan kalau mengira seakan-akan gaya bicara artis atau pesohor adalah yang terbaik dan malah melebih-lebihkan, sehingga suara kurang jelas terdengar dan berakibat pesan tidak dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara.

Dialek orang barat cuma "kulit luar". Bukan itu yang terpenting.

"The most important thing is to speak naturally in order that your message can be understood by the listener."

Pesan dari salah seorang dosen saya, sebut saja Pak Hadi di atas adalah "Yang terpenting adalah berbicara secara alami dengan tujuan supaya pesan Anda dapat dimengerti oleh pendengar."

Saya setuju dengan pendapat beliau.

Berbicara dengan gaya khas masing-masing. Tidak usah dibuat-buat, tidak perlu berupaya meniru atau menyerupai orang lain karena Tuhan menciptakan setiap orang berbeda satu sama lain.

Setiap orang adalah istimewa.

Berbahasa Inggris dengan gaya Anda

Berbahasa Inggris dengan gaya Anda.

Itulah penutup dari tulisan ini.

Apapun dialek yang Anda punya tidak menjadi soal, sejauh pesan Anda tersampaikan dengan clear, jelas, dan pendengar mengerti apa yang Anda maksudkan.

Sudah saatnya dialect shaming diakhiri, karena tidak akan menghasilkan apa-apa, malahan menimbulkan kemerosotan dalam penguasaan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.

Lebih baik fokus belajar dan memotivasi orang lain supaya bisa berbahasa Inggris dengan baik, benar, dan lancar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun