Ada banyak suka duka dalam berkuliah dulu. Mulai dari perkara asmara sampai mendapat nilai A dalam beberapa mata kuliah. Ada pedih saat putus cinta sampai harus mengulang satu-dua mata kuliah yang tidak lulus.
Dari sekian banyak pengalaman tersebut, ada satu yang bisa dibilang sangat membekas. Satu yang selalu terngiang di kepala.
Waktu itu saya dan teman-teman satu angkatan mengikuti suatu mata kuliah yang berhubungan dengan Speaking. Saya lupa apa nama mata kuliahnya. Yang jelas, berhubungan dengan keterampilan berbicara.
Pak Dodi (bukan nama sebenarnya) yang mengajar mata kuliah tersebut. Secara umum, beliau cukup baik dalam mengajar. Pemaparan beliau dalam mengajar cukup jelas dan metode yang beliau gunakan cukup menarik.
Sayangnya, ada blunder yang beliau lakukan, sehingga respek saya (dan mungkin juga teman-teman satu angkatan) terhadap beliau agak menurun, meskipun tidak terlalu menurun sampai ke titik nol.
Beliau mengatakan sesuatu yang mengganggu perasaan nyaman teman saya, Anwar (bukan nama sebenarnya), yang kebetulan saat itu duduk di sebelah saya.
Setelah Anwar selesai mempresentasikan topik yang menjadi tanggung jawabnya, dia kembali ke kursinya di sebelah kursi saya.
Teman yang lain maju ke depan sesudah itu. Pak Dodi waktu itu berjalan perlahan ke belakang sembari tetap mendengarkan mahasiswa yang mendapat giliran presentasi di depan kelas.
Dia berhenti di belakang kami. Saya dan Anwar duduk paling belakang karena datang belakangan. Waktu itu Pak Dodi berkata kepada Anwar, "War, kamu kok ngomongnya seperti itu tadi?"
"Maksudnya, Pak?" Anwar mengerutkan kening. Mungkin dia bingung dengan omongan Pak Dodi perihal "ngomongnya tadi".
"Tadi ngomongmu dipengaruhi oleh dialek, logat daerahmu. Kedengarannya lucu. Apa tidak bisa dihilangkan atau minimal dikurangi pengaruhnya?" Pak Dodi menjelaskan maksudnya.