Setelah melewati beberapa purnama, saya menyimpulkan bahwa ada tiga hal yang perlu dicermati supaya dialect shaming tidak terjadi (lagi).
1. Terima perbedaan sebagai kekayaan dialek bahasa di dunia
Sebenarnya tidak perlu heran dengan perbedaan dialek. Seharusnya kita harus bersyukur bahwa di bumi Nusantara ini ada banyak suku dengan beragam dialek dan membuat iri beberapa kenalan bule di masa lalu.
Mr.Donald (bukan nama sebenarnya), salah seorang dosen yang berasal dari Amerika Serikat sangat iri dengan keberagaman yang dipunyai Indonesia.Â
"You are very lucky that you live in Indonesia. Indonesia has many tribes with unique cultures and dialects. I also like the hospitality of Indonesian..."
Mr.Donald mengatakan kalau saya sangat beruntung karena tinggal di Indonesia. Indonesia mempunyai banyak suku dengan kebudayaan dan dialek yang unik. Dia juga suka keramahtamahan penduduk Indonesia.
Orang luar saja menerima perbedaan sebagai kekayaan dialek bahasa di dunia, masa kita tidak bisa menerima?
Siapa tahu setelah British English, American English, Australian English, dan Singapore English; nanti akan muncul Indonesian English, atau malah bahkan English dari dialek tertentu yang didasari dari berbagai suku di Indonesia. Itu bisa saja terjadi.
Syaratnya supaya terwujud semua itu adalah kita harus menerima perbedaan sebagai kekayaan dialek bahasa di dunia.
2. Tidak ada yang sempurna di dunia ini
Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata. Jadi, sebelum menilai diri lebih tinggi, sebelum menilai kekurangan orang lain, nilai diri sendiri terlebih dahulu, terutama kekurangan diri.
Pak Dodi sendiri sebenarnya juga tidak "sempurna" dalam mengucapkan beberapa kata bahasa Inggris dengan tepat dan akurat. Beliau sendiri mengakui kekurangan dirinya dalam mengucapkan beberapa kata bahasa Inggris.
Sebagai contoh, pengucapan "tree" dan "three". Dulu sebelum kuliah, saya pikir akan sulit membedakan kata apa yang dimaksud jika tidak dimasukkan dalam suatu kalimat. Saya pikir "tree" dan"three" sama-sama diucapkan /tri:/.