Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hati-hati! Simak 5 Hal Ini Sebelum "Ketuk Palu" Pilih Kampus

11 Januari 2021   23:20 Diperbarui: 11 Januari 2021   23:57 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa(SHUTTERSTOCK via KOMPAS.COM)

Memutuskan untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pilih kampus yang oke punya memang susah-susah gampang. Banyak hal yang perlu kita cermati. Salah pilih kampus, penyesalan akan terasa kemudian.

Menurut pengamatan saya dari kuliah dulu dan juga dari beberapa pengalaman kenalan, ada 5 (lima) hal yang harus diperhatikan sebelum menentukan pilihan bahwa kampus tersebut adalah yang the best dari sekian banyak kampus yang ada.

Apa saja lima hal tersebut?

1. Uang Kuliah dan Sarana prasarana

Uang Kuliah adalah sesuatu yang tentu saja menjadi prioritas pertama dalam menentukan kampus tersebut layak Anda masuki atau tidak.

Apalagi kalau ditinjau juga dari sarana prasarana yang tersedia, seperti gedung kampus, ruang kuliah, kantin, dan lain sebagainya. Apakah biaya kuliah yang dikeluarkan sebanding dengan apa yang Anda dapatkan? Itu yang menjadi pertimbangan.

Sebagai contoh, Brandon (bukan nama sebenarnya), seorang kenalan yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris, mengeluhkan besaran uang kuliah yang tidak sesuai dengan sarana prasarana dan apa yang dia dapatkan di kampusnya dulu.

"Sudah bayarnya jutaan, ruang kelas panas, cuma modalnya kipas angin, itu pun hanya ada di beberapa sudut ruangan. Ditambah lagi kotornya minta ampun. Apa kami mahasiswanya juga harus merangkap jadi petugas kebersihan?" keluh Brandon, mengenang masa kuliahnya dulu yang jauh dari kata nyaman dan menyenangkan.

"Ditambah lagi, tidak ada English Lab, Laboratorium Bahasa Inggris. Masa mahasiswa sudah bayar uang kuliah mahal dan terkadang ditagih-tagih karena terlambat membayar, dan diancam-ancam tidak bisa ikut ujian semester kalau belum membayar, eh malah English Lab-nya tidak ada. Malahan cuma pakai tape recorder yang kresek-kresek dan tidak jelas suaranya," Brandon cuma bisa geleng-geleng kepala mengingat masa lalunya semasa kuliah.

Lain lagi dengan Joko (nama samaran), salah seorang mahasiswa. Dia mengeluhkan kantin yang jauh dari kata layak, "Gimana mahasiswa bisa meraih prestasi gemilang dan betah di kampus kalau hidangannya berkisar antara gorengan dan mi instan? Itu pun lebih sering tutup daripada bukanya."

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) pun jauh dari kata "hidup". "Seharusnya ada kegiatan-kegiatan di luar akademik supaya mahasiswa mempunyai kehidupan berkuliah yang menyenangkan. Bukan sekadar belajar saja, tapi juga mempunyai pengalaman berorganisasi, atau dalam bentuk lain, semisal olahraga atau kesenian, sesuai minat dan kesukaan," kata Rinda (bukan nama sebenarnya), seorang kenalan yang juga seorang guru bahasa Inggris.

Jadi, telusuri perihal besaran uang kuliah dan sarana prasarana di kampus-kampus yang menjadi idaman. Simak brosur yang disediakan oleh kampus tersebut; simak website yang menjelaskan perihal uang kuliah dan sarana prasarana di kampus itu; dan yang terlebih penting adalah tanyakan pada beberapa alumni yang pernah kuliah di kampus tersebut dan juga para mahasiswa yang masih berkuliah di kampus itu.

Semakin banyak informasi yang Anda dapatkan, Anda akan lebih mudah memutuskan untuk memilih kampus mana yang menjadi tujuan akhir.

Apakah cukup dengan uang kuliah dan sarana prasarana?

Tidak cukup. Masih ada yang berikut.

2. Akreditasi Kampus

Langkah selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah perihal akreditasi kampus. 

Apakah kampus tersebut sudah mendapat pengakuan dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) bahwa kampus itu sudah memenuhi standar dan kriteria mutu dalam melaksanakan program perkuliahan?

Terkadang banyak dari kita terbuai dengan penawaran suatu produk tertentu, seperti smartphone keluaran terbaru, tapi sebenarnya kita tidak melihat secara jeli apakah smartphone tersebut memang sesuai dengan 'katanya' si penjual atau tidak.

Mengenai akreditasi ini, Anda bisa mengakses situs resmi dari BAN-PT di www.banpt.or.id untuk mengetahui lebih jelas mengenai akreditasi universitas dan jurusan yang Anda minati.

Jangan sampai gara-gara tidak menelusuri lebih jauh tentang akreditasi universitas dan jurusan, Anda jadi menyesal seperti Ronald (bukan nama sebenarnya), seorang kenalan yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris dan saat ini mengajar di salah satu SMK di Samarinda.

"Akreditasi universitas jelas adanya, tapi akreditasi jurusan ternyata berstatus 'tidak terakreditasi'. Tahu begini, saya tidak berkuliah di situ dulu. Menyesal, ijazah diploma tiga tidak bisa digunakan. Sia-sia tiga tahun kuliah. Akhirnya, saya banting setir kuliah lagi dari awal di universitas lain yang jelas akreditasi jurusannya," Ronald mengungkapkan pengalaman pahitnya dulu.

Jangan sampai timbul penyesalan karena salah memilih. Uang bisa dicari lagi, tapi kalau waktu yang hilang, tidak akan ada gantinya lagi.

3. Kompetensi dosen

Dosen menjadi ujung tombak keberhasilan para mahasiswa dalam berkuliah. Kalau dosen tidak berkompetensi, bagaimana para mahasiswa bisa menjadi pribadi yang unggul, gigih, dan berbudi selepas mereka meraih gelar sarjana?

Sudah bukan rahasia lagi kalau kebanyakan dosen, seperti halnya kebanyakan guru, tidak mempunyai kompetensi yang mumpuni sebagai 'mahaguru'. Yang bisa dikategorikan sebagai "Shifu", menurut saya, hanya beberapa dosen saja. Tidak banyak jumlahnya.

Mohon maaf untuk bapak dan ibu dosen. Bukan bermaksud menyinggung, tapi memang fakta-fakta di berbagai kampus, berbagai berita, kebanyakan mengarah kepada ketidakkompetenan dosen.

Seperti contoh pengakuan Hadi (nama samaran), seorang kenalan yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di salah satu SMP di Samarinda. Dia mengeluhkan cara kebanyakan dosen di kampusnya dulu yang mengajar dengan cara dan metode yang sangat "membosankan", yaitu metode ceramah.

"Bagaimana kita bisa mengajar dengan baik setelah menjadi sarjana dan guru di sekolah, kalau kebanyakan para dosen mengajar dengan cara yang membosankan. Mereka datang, duduk, menyuruh para mahasiswa membuka diktat yang dia tulis yang jauh dari kata jelas. Dia menjelaskan panjang kali lebar sambil duduk di kursi. Dengan santainya dia menjelaskan sambil merokok.

"Sudah kita tidak mengerti apa yang dia jelaskan, dia kasih kita bonus racun nikotin lagi. Hebat kan!" keluh Hadi.

Susan (bukan nama sebenarnya), seorang kenalan yang masih berstatus mahasiswi di salah satu kampus di Samarinda, juga meragukan kompetensi dosennya, "Kebanyakan dosen menyuruh kami membuat karya tulis ilmiah, tapi mereka sendiri bisa dikatakan tidak terlihat karya tulisnya. Menulis di blog saja tidak pernah, karena kebanyakan tidak punya blog! Bagaimana kami tahu para dosen suka menulis kalau tidak kelihatan hasil karyanya? Cara mengajar kebanyakan dari mereka saja sangat membosankan. Cuma jelaskan, lalu kasih tugas! Cuma beberapa yang bagus. Bisa dihitung dengan jari."

Untuk mengetahui seberapa besar kompetensi dosen, Anda bisa bertanya kepada beberapa alumni yang sudah lulus dari kampus tersebut dan juga beberapa mahasiswa yang masih berkuliah di situ. Memang diakui, survei seperti ini bersifat subjektif, namun paling tidak bisa memberikan gambaran tingkat kepuasan para alumni dan mahasiswa terhadap kinerja dosen mereka.

Jika lebih dari setengahnya mengatakan kompetensi kebanyakan dosen mereka rendah, sudah bisa disimpulkan bahwa niat Anda untuk memilih kampus tersebut perlu dikaji kembali.

4. Program kurikulum

Berapa banyak mata kuliah dan beban SKS (Satuan Kredit Semester) yang harus ditempuh menjadi pertimbangan berikut.

Dengan kondisi yang sulit, terutama di saat pandemi covid-19, keinginan untuk lebih cepat lulus menjadi sesuatu yang harus dipenuhi sesegera mungkin.

Program kurikulum yang ada di kampus tersebut mendukung hal itu atau tidak, tentu saja harus mengkaji dengan menimbang dari berbagai sisi. Mungkin saja masuk akal kalau melihat program hitam di atas putih dimana dalam, misalnya, empat tahun, semua teori dan praktik sudah selesai. Namun faktor Anda selaku mahasiswa juga menentukan tingkat kecepatan dalam menyelesaikan kuliah. Apakah Anda berkomitmen untuk cepat selesai? Itu yang menjadi pertanyaan besar.

Kebanyakan program kurikulum kurang lebih sama di tiap kampus dengan jurusan yang sama. Jadi Anda bisa membandingkan beberapa program kurikulum dari beberapa kampus yang berbeda.

Kalau ada perbedaan yang sangat signifikan, itu patut dipertanyakan.

5. Proses bimbingan skripsi

Tak dipungkiri, minat baca dan tulis warga +62 yang sangat rendah mengakibatkan minimnya tingkat literasi dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi.

Alasan klise kenapa lambat diwisuda adalah karena proses menulis skripsi yang lama tuntasnya.

"Susah nulis skripsi."

Yah, memang tidak bisa disalahkan kalau menulis skripsi sukar, karena sejak SD sampai SMA, kebanyakan dari kita tidak terbiasa untuk menulis karya tulis ilmiah. Yang ada malah menulis daftar riwayat hidup!

Kok bisa?

Saya heran waktu melihat salah satu bahan materi di pelajaran bahasa Indonesia dari murid SD yang menjadi murid les saya, Dodi (bukan nama sebenarnya), yang berstatus siswa kelas enam SD, di semester ganjil tahun 2020 lalu mendapat PR membuat daftar riwayat hidup untuk bekal melamar kerja kelak. Memang dia harus menulis daftar riwayat hidup ayah dan ibunya seperti yang disebutkan oleh soal yang tertulis di buku LKS.

Tapi melihat anak usia kelas enam SD menulis daftar riwayat hidup seakan mempersiapkan dirinya untuk mencari pekerjaan kelak, bukan untuk menciptakan lapangan kerja baru.

Oke, kembali ke masalah skripsi. 

Selain alasan susah nulis skripsi, alasan sebenarnya yang sangat menjengkelkan adalah sukarnya menemui dosen pembimbing. Proses bimbingan skripsi menjadi rumit dan berbelit, karena kebanyakan dosen menempatkan para mahasiswa bimbingan dalam posisi "tidak boleh membantah" karena dosen lagi ada urusan mengajar di kota lain, ada mengisi kuliah umum di universitas Z, lagi studi banding, dan seabrek alasan lainnya.

"Jengkelnya, saat bertemu, dia cuma main corat-coret dan kasih tanda tanya besar di beberapa bagian skripsi tanpa menjelaskan apa maksudnya," keluh Jennifer (nama samaran).

Anda bisa menanyakan kepada beberapa kenalan yang mungkin berkuliah atau pernah berkuliah di kampus itu perihal kemudahan proses bimbingan skripsi.

* * *

Demikianlah pendapat saya mengenai lima hal yang Anda harus cermati sebelum memilih kampus yang menjadi tempat mencapai cita-cita.

Kiranya bisa berguna bagi Anda yang saat ini sedang galau dalam menentukan pilihan kampus idaman.

Ingat kalimat umum yang berbunyi, "Teliti sebelum membeli."

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun