Sudah bukan rahasia lagi kalau kebanyakan dosen, seperti halnya kebanyakan guru, tidak mempunyai kompetensi yang mumpuni sebagai 'mahaguru'. Yang bisa dikategorikan sebagai "Shifu", menurut saya, hanya beberapa dosen saja. Tidak banyak jumlahnya.
Mohon maaf untuk bapak dan ibu dosen. Bukan bermaksud menyinggung, tapi memang fakta-fakta di berbagai kampus, berbagai berita, kebanyakan mengarah kepada ketidakkompetenan dosen.
Seperti contoh pengakuan Hadi (nama samaran), seorang kenalan yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di salah satu SMP di Samarinda. Dia mengeluhkan cara kebanyakan dosen di kampusnya dulu yang mengajar dengan cara dan metode yang sangat "membosankan", yaitu metode ceramah.
"Bagaimana kita bisa mengajar dengan baik setelah menjadi sarjana dan guru di sekolah, kalau kebanyakan para dosen mengajar dengan cara yang membosankan. Mereka datang, duduk, menyuruh para mahasiswa membuka diktat yang dia tulis yang jauh dari kata jelas. Dia menjelaskan panjang kali lebar sambil duduk di kursi. Dengan santainya dia menjelaskan sambil merokok.
"Sudah kita tidak mengerti apa yang dia jelaskan, dia kasih kita bonus racun nikotin lagi. Hebat kan!" keluh Hadi.
Susan (bukan nama sebenarnya), seorang kenalan yang masih berstatus mahasiswi di salah satu kampus di Samarinda, juga meragukan kompetensi dosennya, "Kebanyakan dosen menyuruh kami membuat karya tulis ilmiah, tapi mereka sendiri bisa dikatakan tidak terlihat karya tulisnya. Menulis di blog saja tidak pernah, karena kebanyakan tidak punya blog! Bagaimana kami tahu para dosen suka menulis kalau tidak kelihatan hasil karyanya? Cara mengajar kebanyakan dari mereka saja sangat membosankan. Cuma jelaskan, lalu kasih tugas! Cuma beberapa yang bagus. Bisa dihitung dengan jari."
Untuk mengetahui seberapa besar kompetensi dosen, Anda bisa bertanya kepada beberapa alumni yang sudah lulus dari kampus tersebut dan juga beberapa mahasiswa yang masih berkuliah di situ. Memang diakui, survei seperti ini bersifat subjektif, namun paling tidak bisa memberikan gambaran tingkat kepuasan para alumni dan mahasiswa terhadap kinerja dosen mereka.
Jika lebih dari setengahnya mengatakan kompetensi kebanyakan dosen mereka rendah, sudah bisa disimpulkan bahwa niat Anda untuk memilih kampus tersebut perlu dikaji kembali.
4. Program kurikulum
Berapa banyak mata kuliah dan beban SKS (Satuan Kredit Semester) yang harus ditempuh menjadi pertimbangan berikut.
Dengan kondisi yang sulit, terutama di saat pandemi covid-19, keinginan untuk lebih cepat lulus menjadi sesuatu yang harus dipenuhi sesegera mungkin.
Program kurikulum yang ada di kampus tersebut mendukung hal itu atau tidak, tentu saja harus mengkaji dengan menimbang dari berbagai sisi. Mungkin saja masuk akal kalau melihat program hitam di atas putih dimana dalam, misalnya, empat tahun, semua teori dan praktik sudah selesai. Namun faktor Anda selaku mahasiswa juga menentukan tingkat kecepatan dalam menyelesaikan kuliah. Apakah Anda berkomitmen untuk cepat selesai? Itu yang menjadi pertanyaan besar.