Seperti mata uang logam, ada dua sisi. Plus sudah dibahas. Apa minus gaji per pertemuan?
1. Kalau ada hari libur nasional atau kondisi darurat lainnya, berarti hilang honor satu atau lebih dari satu pertemuan
Ini adakalanya terjadi dan sakitnya luar biasa kalau kejadian, apalagi di hari tersebut ada empat pertemuan. Rugi berapa duit tuh. Enak libur, tapi duit tidak didapat. Ah nasib.
2. Terkadang kalau sepi peserta didik, murid digabung dalam satu kelas, dan “terima nasib”
Hal ini biasanya terjadi saat ada Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Karena kursusnya adalah kursus bahasa Inggris, bukan semua mapel, mengakibatkan hari yang ramai adalah hari dimana besoknya ada ujian bahasa Inggris di sekolah.
Sisa empat hari yang lain serasa seperti di “kuburan”. Sepi peminat. Peserta didik yang datang tak seberapa. Otomatis murid-murid yang tak seberapa tadi digabung dalam satu kelas. Gurunya? Terserah. Siapa yang bersedia mengajar. Atau tergantung kebijakan pengelola kursus.
3. Kalau “libur semester” berarti tidak ada pendapatan
Tidak ada murid, tidak ada pertemuan, berarti tidak ada pendapatan. Fix! Deritamu, Bro!
Pandangan tentang skema upah kerja per jam
Saya tidak tahu menahu perihal skema upah kerja per jam di UU Cipta Kerja. Seandainya ada, pandangan saya sebagai rakyat biasa adalah bisa baik, bisa juga buruk. Tergantung dari isi skema dan pelaksanaan di lapangan seperti apa.
Saran saya tentang UU Cipta Kerja tersebut adalah:
1. UU harus menimbang faktor Kebutuhan Hidup Layak (KHL) per bulan untuk para tenaga kerja
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di setiap kota tidaklah sama. Perlu mencermati hal tersebut.
2. Ada aturan yang jelas perihal kompensasi yang didapat karyawan saat mereka tidak bisa bekerja karena sesuatu dan lain hal
Ini juga patut menjadi perhatian. Perlu kejelasan perihal kompensasi untuk karyawan seandainya mereka tidak bisa bekerja karena faktor sakit, cuti, izin, dan lain sebagainya.
3. Ada kenaikan upah sesuai dengan penilaian kinerja
Mungkin ini yang menjadi kelemahan negara +62. Kebanyakan penilaian kinerja masih tidak jelas. Kenaikan upah "seakan-akan" didasarkan atas kedekatan dengan atasan atau karena sebab-sebab yang tidak rasional.
Kiranya indikator penilaian kinerja bisa jelas, terukur, transparan, dan jujur.