Kalau bicara soal gaji bulanan, saya sudah pernah mendapatkannya. Seandainya ngomong perihal upah kerja per jam, saya juga pernah memperoleh, karena saya dulu sempat mengajar di kursus, bimbingan belajar (bimbel), dan sekolah swasta yang menganut sistem pembayaran berdasarkan pertemuan, seberapa banyak pertemuan yang saya jalankan dalam sebulan.
Manakah yang lebih baik, gaji bulanan atau per pertemuan?
Nah, bicara masalah mana yang lebih baik, tentu subjektif adanya. Tergantung persepsi masing-masing orang. Namun, menurut saya, tidak ada yang lebih baik, karena selalu ada plus minus, kelebihan dan kekurangan dari dua sistem pembayaran ini.
Plus gaji bulanan
Saya mulai mengajar di beberapa sekolah dasar (SD) sejak tahun 1998. Mulai dari honor cuma 50 ribu sampai 900 ribu sebulan sudah saya rasakan.
Saya mendapatkan gaji bulanan secara rutin dari berbagai SDN di Samarinda. Tentu saja, suka duka, plus minus sudah “kenyang” saya telan.
Apa sih plus-nya gaji bulanan saat menjabat sebagai guru honorer?
Menurut saya, ada dua plus dari gaji bulanan.
1. Tetap mendapat gaji secara utuh meskipun ada hari-hari libur nasional atau kondisi darurat lainnya
Ini yang menjadi nilai plus utama.
Terkadang ada hari-hari libur nasional di sela-sela hari belajar efektif dari Senin sampai Sabtu, sehingga tidak bisa mengajar.
Misalnya pernah ada satu hari libur nasional dan ada tiga kelas yang harus saya ajar di hari itu, yaitu kelas satu pada jam 07.15 WITA, kelas lima di jam 09.15 WITA, dan kelas empat pada jam 13.00 WITA.
Karena bertepatan dengan hari libur nasional, saya tidak mengajar, karena memang tidak ada proses belajar mengajar di hari tersebut. Namun gaji tetap utuh di awal bulan berikut.
Sakit atau izin juga tidak menjadi persoalan.
"Tidak apa, Pak Anton. Asal bapak beritahu guru kelasnya dan ada tugas yang murid bisa kerjakan."
Begitu biasanya kepala sekolah menganjurkan. Gaji tetap full saya dapatkan.
2. Meskipun libur semester, tetap mendapat gaji secara penuh
Ini juga yang menjadi keuntungan lain dari guru pada umumnya dan guru honorer pada khususnya.
Libur semester seperti di bulan Desember dan Juni sekitar dua sampai tiga minggu bisa dibilang cukup untuk "mengisi daya" setelah lima bulan mengajar.
Setelah pulang sekolah, guru tetap sibuk mempersiapkan administrasi pembelajaran seperti program tahunan, program semester, silabus, RPP, dan lain sebagainya.
Jadi tidak etis kalau ada pegawai negeri sipil (PNS) dari instansi lain yang iri dan mempersoalkan perihal jam kerja guru. Kalau jam sekolah usai, guru tetap "bekerja" di rumah, mempersiapkan administrasi pembelajaran tadi, mengoreksi berbagai tugas peserta didik, membuat jurnal, dan lain sebagainya.
Saya tetap mendapat gaji meskipun libur semester. Itu pun tidak benar-benar "libur" karena tetap harus mempersiapkan segala persiapan mengajar untuk semester berikut.
Jadi, gaji tetap didapat penuh setelah libur semester berakhir.
Minus Gaji Bulanan
Selalu ada sisi kurang dari suatu segi. Gaji bulanan tak terkecuali. Di satu sisi ada nilai plus, tapi di sisi lain juga ada poin minus.
Apa poin minus gaji bulanan bagi guru honorer seperti saya waktu itu?
1. Kerja "lembur" pun tetap sama gajinya
Ini yang menjadi persoalan. Seberapa pun giatnya bekerja, gaji di awal bulan berikut tetap sama. Tidak terpengaruh dengan kinerja apik kita.
“Untuk apa capek-capek, Pak Anton? Kerja keras sama kerja santai ya sama saja hasilnya. Gak ada timbal balik dan penghargaan. Nihil.”
“Sudahlah, Pak. Kerja biasa aja. Gak usah ngoyo.”
Pernyataan dari Bu Dina dan Pak Joko (keduanya bukan nama sebenarnya) adalah gambaran umum dari (maaf) kebanyakan guru PNS atau yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN).
Meskipun ada supervisi dari pengawas yang rutin menilai kinerja guru ASN, saya melihat (lagi-lagi) kebanyakan hanya menilai dari kelengkapan administrasi, seperti adanya program tahunan, program semester, silabus, dan lain-lain. Penilaian mengajar di dalam kelas kurang mendapat perhatian, apalagi kalau guru yang disupervisi lebih tua dari pengawas.
2. Kenaikan gaji minimal setahun sekali, tapi “harap maklum”
Kenaikan gaji yang pernah saya alami ada yang setelah dua tahun baru naik, tapi kebanyakan minimal setahun sekali. Namun jangan berharap banyak.
“Harap maklum” merupakan dua kata kunci yang harus selalu diingat oleh setiap guru honorer. Di awal-awal saya sempat mempertanyakan kepada kepala sekolah, namun selalu dijawab dengan “Karena murid kita sedikit, maka dari pihak sekolah hanya bisa memberikan sejumlah ini. Harap dimaklumi ya, Pak.”
Kalaupun naik, nominalnya sangat memprihatinkan.
Saya dulu pernah mengutarakan permohonan memajukan diri (bukan mengundurkan karena saya ingin berbisnis dengan teman). Kepala sekolah tidak mengizinkan dan membujuk saya untuk bertahan mengajar.
Bu Rina, sebut saja begitu, “merayu” saya supaya saya tetap bersedia mengajar di SD tempat beliau memimpin sebagai kepala sekolah. “Saya senang dengan cara Anda mengajar di sekolah, namun untuk masalah honor, hanya bisa saya naikkan sebanyak 50 ribu. Menimbang perasaan guru honor senior lainnya dan juga jumlah murid di sekolah kita…”
Saya menolak dengan halus dan tidak mendengarkan penjelasan beliau lebih lanjut. Mau mempertahankan tenaga kerja dengan kinerja baik tapi berdalih “harap maklum”? Ya, gak bakal mempan.
Plus Gaji Per Pertemuan
Selama mengajar dengan komisi per pertemuan dengan durasi berlainan (ada yang satu jam 15 menit, ada juga yang satu jam 30 menit), tentu saja, nilai plus-nya juga tersedia.
Ada 2 (dua) nilai plus yang saya bisa simpulkan dari gaji per pertemuan :
1. Semakin banyak jumlah pertemuan dalam mengajar, uang yang didapat akan juga lebih berlimpah
Ini keunggulan yang tidak saya dapatkan sewaktu mengajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN).
Semakin rajin mengajar, semakin banyak jumlah pertemuan, honor pun jadi semakin meningkat.
Dulu saya pernah mendapat dua juta lebih per bulan dari satu kursus saja. Untuk ukuran saya waktu itu sebagai mahasiswa yang masih numpang di rumah saudara, nominal segitu sudah 'wah'. Lebih dari cukup apabila dibandingkan dengan pengalaman di SDN sebelumnya yang cuma dapat puluhan ribu per bulan.
Namun tentu saja, ada "harga" yang harus dibayar. Saya mengajar banyak kelas, yaitu di pagi hari ada satu kelas; siang-sore-malam ada empat kelas.
Di awal memang lelah, tapi setelah menjalani, santai aja. Tidak terasa kalau sudah ‘nguli’ seharian.
2. Ada kemungkinan naik honor per pertemuan jika dinilai bagus dalam mengajar
Kenaikan honor tidak mengenal senioritas atau junioritas. Kalau kinerja dinilai memuaskan oleh pimpinan, honor per pertemuan bisa meroket drastis.
Pimpinan kursus bahasa Inggris, sebut saja Bu Jenny, pernah menaikkan honor saya dulu. “Meskipun ada yang lebih duluan masuk, tidak menjadi soal, karena saya menilai kinerja, bukan senioritas,” kata Bu Jenny sewaktu menepis polemik perihal "anak kesayangan bos" yang ditimpakan ke saya.
Tidak perlu menunggu setahun-dua tahun untuk naik gaji. Hitungan bulan pun bisa terjadi.
Minus Gaji Per Pertemuan
Seperti mata uang logam, ada dua sisi. Plus sudah dibahas. Apa minus gaji per pertemuan?
1. Kalau ada hari libur nasional atau kondisi darurat lainnya, berarti hilang honor satu atau lebih dari satu pertemuan
Ini adakalanya terjadi dan sakitnya luar biasa kalau kejadian, apalagi di hari tersebut ada empat pertemuan. Rugi berapa duit tuh. Enak libur, tapi duit tidak didapat. Ah nasib.
2. Terkadang kalau sepi peserta didik, murid digabung dalam satu kelas, dan “terima nasib”
Hal ini biasanya terjadi saat ada Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Karena kursusnya adalah kursus bahasa Inggris, bukan semua mapel, mengakibatkan hari yang ramai adalah hari dimana besoknya ada ujian bahasa Inggris di sekolah.
Sisa empat hari yang lain serasa seperti di “kuburan”. Sepi peminat. Peserta didik yang datang tak seberapa. Otomatis murid-murid yang tak seberapa tadi digabung dalam satu kelas. Gurunya? Terserah. Siapa yang bersedia mengajar. Atau tergantung kebijakan pengelola kursus.
3. Kalau “libur semester” berarti tidak ada pendapatan
Tidak ada murid, tidak ada pertemuan, berarti tidak ada pendapatan. Fix! Deritamu, Bro!
Pandangan tentang skema upah kerja per jam
Saya tidak tahu menahu perihal skema upah kerja per jam di UU Cipta Kerja. Seandainya ada, pandangan saya sebagai rakyat biasa adalah bisa baik, bisa juga buruk. Tergantung dari isi skema dan pelaksanaan di lapangan seperti apa.
Saran saya tentang UU Cipta Kerja tersebut adalah:
1. UU harus menimbang faktor Kebutuhan Hidup Layak (KHL) per bulan untuk para tenaga kerja
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di setiap kota tidaklah sama. Perlu mencermati hal tersebut.
2. Ada aturan yang jelas perihal kompensasi yang didapat karyawan saat mereka tidak bisa bekerja karena sesuatu dan lain hal
Ini juga patut menjadi perhatian. Perlu kejelasan perihal kompensasi untuk karyawan seandainya mereka tidak bisa bekerja karena faktor sakit, cuti, izin, dan lain sebagainya.
3. Ada kenaikan upah sesuai dengan penilaian kinerja
Mungkin ini yang menjadi kelemahan negara +62. Kebanyakan penilaian kinerja masih tidak jelas. Kenaikan upah "seakan-akan" didasarkan atas kedekatan dengan atasan atau karena sebab-sebab yang tidak rasional.
Kiranya indikator penilaian kinerja bisa jelas, terukur, transparan, dan jujur.
4. Ada pesangon yang sepantasnya setelah karyawan tidak bekerja lagi
Saya belum membaca tentang pesangon, apakah UU Cipta Kerja juga membahas atau tidak. Mudah-mudahan, sekiranya memuat juga perihal pesangon, karyawan mendapat haknya, pesangon yang sepantasnya setelah tidak bekerja lagi.
* * *
Bagi rekan guru honorer, tetap semangat meskipun kepastian masa depan belum jelas. Satu hal yang pasti, mendidik siswa-siswi menjadi generasi unggul seharusnya ditempatkan sebagai tujuan utama.
Selamat berjuang.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H