Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyoal Keefektifan PJJ lewat WhatsApp dan Zoom

26 September 2020   14:21 Diperbarui: 27 September 2020   11:52 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aplikasi Zoom(forbes.com via KOMPAS.COM)

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sudah hampir tujuh bulan berjalan. Alih-alih membantu, banyak keluhan yang terlontar.

"Masa anak cuma disuruh kerjakan tugas. Lalu difoto. Kemudian kirim lewat WA. Setiap hari seperti itu. Dijelaskan lewat Zoom, tapi cuma sebentar. Tak jelas. Apalagi sekarang harus buat e-mail. Repot banget sih!"

Keluhan dari Pak Firman (bukan nama sebenarnya), seorang teman yang dulu berprofesi sebagai guru, sebenarnya juga saya alami.

Kalau beliau mengeluh hal tak menyenangkan yang dialami cucunya, sesungguhnya itu menjadi kejengkelan saya juga. Karena ada beberapa murid les saya yang mengalami hal serupa.

Masalah PJJ bagi peserta didik

Setelah tujuh bulan berjibaku dengan murid-murid les, saya melihat masalah yang dihadapi peserta didik dalam proses PJJ ini.

1. Tugas yang diberikan oleh kebanyakan guru tidak jelas bagaimana cara mengerjakan 

Saya tidak mempersalahkan tentang cara guru berbicara, karena setiap guru punya cara masing-masing dalam bertutur kata.

Namun, yang saya sesalkan adalah cara kebanyakan guru dari murid les saya dalam menjelaskan tugas yang harus dikerjakan.

Meskipun sudah dijelaskan lewat Zoom dan WA, tetap saja timbul kebingungan.

Setelah saya analisa, saya menemukan fakta bahwa kebanyakan guru yang mengajar murid-murid les saya hanya memberikan instruksi, seperti membuka halaman berapa, membahas materi secara lisan tanpa alat bantu mengajar (seperti papan tulis, video YouTube, dan lain sebagainya), dan setelah itu memberikan tugas yang harus peserta didik kerjakan secara mandiri di rumah.

Murid-murid saya bisa mengerjakan karena saya, sebagai guru les mereka, dapat membantu menjelaskan bagaimana cara mengerjakan tugas yang diberikan guru sekolah mereka.

Namun, bagaimana dengan peserta didik yang tidak seberuntung murid-murid les saya? Jangankan untuk membayar uang les. Untuk membeli bahan pokok sehari-hari saja mungkin sudah sukar mereka penuhi, khususnya bagi beberapa keluarga peserta didik yang berada dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah.

Tidak jelasnya cara mengerjakan tugas karena kebanyakan guru sekolah "hanya" mengandalkan suara dalam menjelaskan, tanpa penggunaan ilustrasi dengan bantuan media lain sangatlah membingungkan peserta didik dalam memahami cara mengerjakan tugas.

2. Tugas yang dikerjakan terlalu banyak

Saya tidak habis pikir dengan kebanyakan guru sekolah yang menjadi wali kelas beberapa murid saya. Ada beberapa pertanyaan yang berkecamuk dalam benak.

Apakah kebanyakan guru berpikir peserta didik mempunyai banyak waktu di rumah, sehingga mereka memberikan tugas yang seabrek pada murid?

Apakah kebanyakan guru yakin kalau penjelasan mereka sudah jelas dipahami peserta didik, sehingga mereka pun dengan pede-nya memberikan setumpuk PR menggunung?

Apakah nanti PR-PR tersebut akan diperiksa atau tak jelas nilainya seperti PR-PR sebelumnya?

Kalau cuma 10 (sepuluh) nomor, masih bisa ditoleransi; tapi kalau sudah menyangkut jumlah soal yang mencapai ratusan, seperti yang dialami Doni (nama samaran), murid les saya yang berstatus siswa kelas 6 Sekolah Dasar, tentu saja sangat keterlaluan!

Minggu lalu, Guru kelas dari Doni memberikan PR, yaitu Doni harus mengerjakan soal-soal dari Tema 2, yang terdiri dari soal-soal dari Subtema 1, soal-soal dari Subtema 2, dan soal-soal dari Subtema 3.

Jumlahnya? Mencapai hampir seratus nomor! Apakah guru tersebut "kejar tayang" karena minggu depannya (yaitu minggu ini) akan dilaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS), sehingga guru tersebut bermaksud "menghabiskan materi pelajaran"?

Sepertinya begitu. Karena terlihat dari kecenderungan kebanyakan guru dari beberapa murid saya yang lain juga memberikan banyak soal menjelang dekatnya jadwal UTS dan Ujian Semester.

3. Tidak jelas kapan tugas harus dikumpulkan

Ini juga yang menjadi persoalan. Kebanyakan guru yang memberikan tugas kepada beberapa murid tidak memberitahu secara jelas kapan tugas harus dikumpulkan.

Dalam banyak kejadian, saya bingung dengan penugasan dari guru-guru tersebut dikarenakan jangka waktu pengerjaan tugas tidak jelas kapan harus diserahkan.

Awal bulan, pertengahan bulan, akhir bulan, dan sejenisnya. Begitulah pesan kebanyakan guru sekolah sewaktu ditanyakan perihal tanggal pengumpulan.

Masalah PJJ bagi orang tua murid

Masalah PJJ bagi orang tua murid juga tidak kalah banyaknya. Ada 3 (tiga) masalah yang dihadapi orang tua murid.

1. Orang tua bingung bagaimana menjelaskan materi pelajaran

Terkadang saya juga geleng-geleng kepala melihat betapa banyaknya mata pelajaran yang dihadapi murid-murid les saya, khususnya yang bersekolah di Sekolah Dasar (SD). Kenapa? Karena terlalu banyak banyak mata pelajaran, sehingga terlalu banyak materi yang harus dihafalkan untuk menghadapi ulangan dan tugas yang bertumpuk untuk dikerjakan peserta didik.

Peserta didik harus menghafal materi pelajaran yang seabrek, mulai dari agama, bahasa Indonesia, IPS, IPA, PJOK, sampai bahasa Inggris. Meskipun katanya kurikulum 2013 “ringkas dan padat”, namun pada kenyataannya, berbagai mata pelajaran tersebut tetap ada di buku-buku tema 1, 2, 3, dan seterusnya. Tetap saja bertumpuk dan tumpang-tindih tidak jelas ujung pangkalnya.

Ananda pusing, orang tua juga ikut pusing. Saya tidak menyalahkan orang tua karena saya pun juga mengalami kepusingan yang sama.

Kebetulan saya juga mempunyai beberapa murid les yang masih bersekolah di SD, di kelas 4, 5, dan 6. Meskipun saya berprofesi sebagai guru bahasa Inggris, namun saya juga mengajar berbagai mata pelajaran SD, seperti matematika, IPS, IPA, dan lain-lain.  

Saya saja sudah kelimpungan mengajar beberapa murid les saya, apalagi orang tua yang tidak berlatar belakang pendidikan sebagai guru tentu lebih sukar lagi dalam menjelaskan materi pelajaran kepada putra-putri tercinta.

2. Orang tua tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang pelajaran sekolah ananda

Sebetulnya saya merasa aneh dengan banyaknya mata pelajaran di Indonesia dan keharusan peserta didik untuk menguasai semua mata pelajaran tersebut tanpa cela. Guru saja terbagi. Ada guru yang khusus mengajar bahasa Inggris, guru agama, guru PJOK, dan lain-lain. Setiap guru mempunyai spesialisasi masing-masing.

Masa peserta didik tidak bisa seperti itu? Apakah mereka tidak bisa memilih mata pelajaran yang mereka minati saja?

Orang tua juga begitu. Mereka berasal dari latar belakang yang beraneka ragam. Ada pegawai swasta, ibu rumah tangga, tukang sayur, tukang ojek, dan lain sebagainya.  

Karena pengetahuan yang terbatas mengenai mata pelajaran yang beraneka, kebanyakan orang tua mengalami kesulitan untuk menjelaskan pada putra-putri tercinta. 

3. Orang tua juga mempunyai "pekerjaan rumah" yang harus dikerjakan

Saya mempunyai beberapa teman yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Saya salut dengan mereka. Mereka mengorbankan karier mereka sebagai pekerja kantoran atau pegawai di suatu instansi, dan mereka mengabdikan diri sepenuhnya untuk mengasuh dan merawat anak-anak mereka.

“Saya tidak bekerja, Pak. Saya ibu rumah tangga.”

“Itu juga pekerjaan, Bu. Pekerjaan yang mulia. Mengasuh, merawat, dan yang terutama mendidik putra-putri tercinta.”

Itu adalah secuil percakapan antara saya dengan Bu Tina (bukan nama sebenarnya), salah satu orang tua murid beberapa tahun yang lalu. Ibu yang sederhana tapi mempunyai jiwa yang besar, memberikan waktunya sepenuh hati untuk perkembangan fisik dan psikis buah hati. Hasilnya? Putra-putri beliau sudah berhasil, lulus sarjana dengan hasil gemilang.

Sekarang, para ibu mempunyai “pekerjaan rumah” tambahan. Mengajar putra-putri lebih intens lagi, alias mengambil alih tugas guru sekolah di rumah. 

Akibatnya, stres melanda. Bingung karena bertumpuknya tugas sekolah dari guru membuat kebanyakan orang tua kelabakan.

Padahal, tugas di rumah seperti memasak, membersihkan rumah, menyapu, mengepel, dan lain sebagainya tetap harus dikerjakan.

Saran bagi orang tua murid

Kiranya 3 saran dari saya ini bisa menolong para orang tua dalam membimbing putra-putri tercinta selama PJJ.

1. Perlu berkomunikasi dengan guru secara intens perihal kesulitan ananda dalam PJJ

Terkadang polemik pikiran dalam benak kebanyakan orang tua adalah guru itu super sibuk, sehingga tidak ada waktu buat menemui mereka, berdiskusi tentang putra-putri mereka. 

Polemik lainnya adalah ketakutan kebanyakan orang tua kalau mereka mengkritik guru, putra-putri mereka akan mendapat nilai jelek di rapor. Guru akan sentimen pada putra-putri mereka.

Mungkin ada beberapa guru yang memang sibuk sekali dan bisa sentimen pada peserta didik. Karena guru juga manusia biasa. Bisa senang dan kesal.

Tapi bukan berarti orang tua murid dilarang untuk memberi kritik yang membangun. Saya secara pribadi senang kalau ada orang tua murid yang memberikan kritik dan saran yang membangun demi kemajuan peserta didik, tapi tentu saja dengan cara penyampaian yang baik.

Saya heran dengan kebanyakan guru yang mengadakan PJJ lewat Zoom hanya untuk murid, tapi tidak menggunakan aplikasi tersebut untuk membuka ruang tanya jawab untuk para orang tua seputar PJJ. Lewat Zoom khusus antara orang tua dan guru, orang tua murid dapat menuangkan unek-unek serta memberikan saran guna perbaikan proses PJJ.

Anda bisa mengusulkan pada guru supaya temu wicara lewat Zoom bisa dilakukan.

Bisa juga bertanya langsung lewat panggilan telepon. Dengan begitu, guru juga memahami kesulitan putra-putri Anda sewaktu menjalani PJJ di rumah.

2. Berusaha menjadi "guru yang terbaik" bagi putra-putri tercinta

Yah, dalam kondisi saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, Andalah yang berperanan dalam hal ini sebagai “guru yang terbaik” bagi putra-putri tercinta. Anda harus berusaha untuk itu. Kepada siapa lagi mereka bertanya kalau tidak  kepada Anda.

3. Menegakkan disiplin pada ananda

Smartphone bagai pedang bermata dua. Anak bisa lupa waktu dan salah menggunakan kalau Anda tidak menegakkan disiplin perihal pemakaiannya. 

Disiplin belajar, beribadah, dan bermain di rumah juga perlu ditanamkan. Anda perlu membuat jadwal aktivitas untuk putra-putri terapkan di rumah.

Efektifkah?

Menurut analisa saya, PJJ lewat WhatsApp dan Zoom masih kurang efektif. Karena memang tidak ada satu metode pun yang sempurna di dunia ini, apalagi dalam menghadapi bencana saat ini.

Oleh karena itu, perlu evaluasi, meninjau keefektifan penggunaan kedua aplikasi ini dalam PJJ dan perlu peningkatan kualitas PJJ ke depannya.

Semoga para orangtua dan peserta didik  tetap bersabar dalam menjalani PJJ.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun