Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lagu yang Tak Pernah Usai

23 Agustus 2020   13:03 Diperbarui: 23 Agustus 2020   13:02 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Handoko.”

Nama yang sederhana, sesederhana orangnya.

Lelaki paruh baya ini tidak menyebutkan nama panjangnya. Dia cuma menyebutkan “Handoko”. Cuma itu.

Perkenalan ini bermula tanpa direncanakan.

Doni mengisi tangki bensin sepeda motornya di suatu SPBU. Dan dia melihat seorang bapak, yang Doni perkirakan berusia sekitar 40-an, bermain gitar di samping mini market di SPBU tersebut. Mengamen. 

Lelaki itu hanya bermain gitar. Permainan gitar tunggalnya begitu memukau. Doni bisa bermain gitar tunggal ala klasik dan fingerstyle. Meskipun sudah sekian lama belajar secara autodidak, dia merasa keterampilannya tidak bertambah maju secara signifikan.

Ikut kursus gitar di lembaga musik menjadi tujuan. Sayang, uang di dompet tidak mendukung. 

Entah bapak ini pernah kursus gitar atau tidak. Yang pasti, kemampuan dalam bermain gitar bisa dikategorikan di atas rata-rata. Dan yang menjadi nilai plus dibanding gitaris-gitaris lainnya adalah bapak itu buta!

Sedangkan dengan mata terbuka saja terkadang salah mencet senar. Bapak ini malah menarikan jari-jari kirinya di fingerboard gitar dengan leluasa. Seperti ada banyak mata di jari kiri dan kanannya.

“Sudah lama bapak itu main gitar di sini, Mas?” tanya Doni pada pegawai SPBU yang sedang mengisi tangki motornya.

“Lumayan lama, Mas. Sekitar dua bulanan.”

“Hebat mainnya ya, Mas,” kata Doni kagum.

“Bukan hebat lagi. Luar biasa. Yang matanya masih bisa melihat aja belum tentu mahir bermain gitar seperti bapak itu,” sambung pegawai tersebut.

Di kesempatan lain, kalau dia pergi ke SPBU bersama motor andalan untuk mengisi bensin, bapak itu selalu ada. Memainkan gitarnya.

Meskipun bentuk gitar terlihat ‘cukup memprihatinkan’, tapi suaranya masih oke. Speaker membantu mengeraskan suara sehingga sampai ke telinga para pendengar.

Niat hati ingin berkenalan, namun Doni selalu sungkan. Maklum, sang bapak sedang memainkan gitar. Sedang mencari uang barang pengganjal perut untuk makan. Tak elok kalau dia mengajak ngobrol di saat bapak itu sedang bekerja.

Namun kesempatan datang tanpa direncanakan. 

Doni waktu itu ingin membeli sabun, sikat gigi,dan pasta gigi di mini market di SPBU tersebut setelah selesai mengisi tangki motornya. “Takutnya nanti lupa,” kata Doni dalam hati.

Sekeluarnya dari mini market, Doni melihat lelaki pemain gitar itu duduk di dekat pintu mini market. Gitar tergeletak di sampingnya. Bapak itu sedang beristirahat, minum sejenak, sembari menikmati roti yang dipegangnya di tangan kanan.

Doni pun memberanikan diri untuk menyapa, “Panas banget hari ini ya, Pak.”

“Ooh, ya. Panas banget,” Agak kaget sang bapak waktu mendengar dirinya diajak bicara.

Doni duduk di sebelah sang bapak. Sang bapak diam saja. Menyesap air dalam botol minumnya.

“Sudah lama jadi pengamen, Pak?” tanya Doni, membuka pembicaraan.

“Yah, lumayan, Mas. Baru dua bulan,” kata bapak itu.

“Luar biasa sekali permainan gitar bapak. Saya salut,” Doni memuji.

“Ah, cuma begini permainan saya. Apanya yang bagus, Mas,” Bapak itu merendah. 

“Wah, bapak terlalu merendah. Untuk orang dengan kondisi, maaf, tidak bisa melihat, bapak sungguh luar biasa. Untuk orang dengan kondisi mata bisa melihat saja belum tentu bisa main sehebat bapak. Saya sendiri tidak bisa main gitar sebagus bapak, seperti yang bapak mainkan tadi,” kata Doni lagi.

“Mas bisa main gitar?” tanya bapak itu. Ada paras senang di wajah.

“Tidak terlalu, Pak. Cuma bisa memainkan lagu-lagu sederhana saja,” jawab Doni.

“Coba mainkan beberapa,” Bapak itu mengangsurkan gitar ke Doni. Doni menyambutnya. 

Doni pun memainkan sebuah lagu yang dia bisa, yaitu “Naik-naik ke puncak gunung”, lagu yang dia sudah kuasai waktu duduk di kelas satu SMA dulu.

“Wah, bagus sekali, Mas. Gitu kok bilangnya biasa-biasa aja mainnya," kata Bapak itu memuji.

Dari situlah awal mula keakraban Doni dan Pak Handoko. Doni sampai bela-belain datang ke kamar kos Pak Han, panggilan singkatnya, dengan tujuan sekadar ingin menyaksikan cara Pak Han bermain gitar.

Sebuah kamar yang apa adanya. Lemari pakaian dua pintu dengan isi hanya beberapa pakaian. Tiga piring plastik. Tiga sendok. Tiga garpu. Tak ketinggalan, sebuah mangkuk plastik untuk makanan berkuah seperti sup, mi kuah, atau yang lainnya.

Beberapa kali Doni membawakan makanan untuk Pak Han. Tapi, meskipun sudah agak sedikit terbuka daripada waktu pertama kali berkenalan, Pak Handoko tetap tidak pernah sedikit pun membicarakan atau membahas tentang keluarganya.

Yang dia bahas hanya seputar main gitar, bagaimana dia dulu sempat belajar gitar di kursus dan juga menjadi guru gitar di beberapa sekolah untuk mengajar gitar di ekstrakurikuler gitar. Semua itu berlangsung sebelum dia buta. Dia menjadi buta karena faktor kecelakaan sepeda motor. Hantaman yang keras pada kepala di dekat mata menimbulkan efek yang tak terkira. Perlahan penglihatannya sirna.

Pak Han berbaik hati mengajarkan beberapa lagu dengan aransemen fingerstyle pada Doni. “Kamu sudah baik sama bapak, Don. Sudah bawain banyak makanan. Anggap aja ini balas jasa atas kebaikanmu,” kata beliau saat menolak uang pemberian Doni yang Doni katakan sebagai uang les.

Perlahan. Doni mulai bisa memainkan lagu dengan cara fingerstyle seperti yang dia idam-idamkan. “Kangen” dan “You are The Reason” adalah dua di antaranya.


Namun, sebenarnya Doni sangat ingin memainkan sebuah lagu sedih yang selalu dimainkan Pak Handoko. Lagu tersebut dimainkan dengan sempurna dan menimbulkan haru di dada. Namun, apabila Doni memohon untuk diajarkan lagu tersebut, Pak Handoko selalu menolak.

“Bapak tak bisa mengajarkannya padamu, Don.”

“Kenapa tidak bisa, Pak?”

“Bapak tidak bisa mengatakan alasannya sekarang. Mungkin nanti bapak katakan.”

Doni pun tak mendesak. Dia tetap belajar pada Pak Han, memainkan lagu-lagu yang lain.

Namun, tidak ada angin dan petir, Pak Han berkata pada Doni di suatu hari, “Don, kamu mau banget belajar lagu itu?”

“Lagu yang mana, Pak?” Doni bingung.

“Lagu sendu yang kamu ingin bapak ajarkan ke kamu, tapi selalu bapak tolak.”

“Tentu saja mau banget, Pak. Lagu itu sangat menyentuh.”

"Oke. Bapak mau ajarkan ke kamu, tapi lagu ini tidak mudah. Kamu harus latihan keras."

Mulailah Pak Handoko mengajar lagu sedih tersebut pada Doni. Ternyata memang sulit sekali, seperti yang Pak Han bilang. Terkadang Pak Han tidak sabar dengan Doni, karena Doni kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang sama. Kemajuan yang dicapai Doni sangat lambat.

“Kamu harus rajin latihan, Don!” kata Pak Handoko.

Doni nyaris putus asa. Meskipun begitu, dia tetap berlatih.

* * *

“Hah, pulang kampung?”

Doni kaget waktu mendapat informasi dari Bambang, teman kos Pak Handoko yang kamarnya bersebelahan dengan kamar beliau.

“Iya, Mas. Tadi malam dijemput sama keponakannya.”

“Oke, Mas. Makasih ya,” Doni hendak berlalu.

“Tunggu sebentar, Mas,” Bambang sekejap masuk ke kamar kosnya dan tak lama, dia keluar lagi dengan mengangsurkan sebuah amplop putih. “Ini titipan dari Pak Han buat Mas.”

“Apa ini, Mas?” Doni bertanya.

“Surat dari Pak Han. Pak Han minta tolong ke saya untuk memberikannya ke Mas, kalau Mas datang. Juga ada video yang harus saya berikan.”

“Video?”

“Iya. Ada di hape saya. Saya kirim ke hape Mas ya.”

Setelah sampai di rumah, Doni membuka surat dari Pak Han. Isinya singkat saja.

Don,

Bapak memutuskan pulang ke desa, karena di sini bapak sudah tidak punya keluarga lagi. Di desa, masih ada adik laki-laki bapak. Dia yang meminta bapak untuk pulang saja ke kampung. Jadi bapak menuruti sarannya.

Maaf ya, Don. Bapak tidak memberitahu kamu sebelumnya. 

Dengan ini bapak titip video cara memainkan lagu sedih itu. Sudah bapak persiapkan jauh-jauh hari. Bambang membantu bapak merekamnya. Semoga kamu bisa memainkannya dengan baik. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi ya.

Doni pun melanjutkan latihan. Berlatih memainkan lagu sedih tersebut dengan bantuan video Pak Han. Lagu yang sebenarnya tak pernah usai, karena Pak Han menciptakan lagu ini untuk istri dan dua anak lelakinya yang meninggal saat kecelakaan lalu lintas bersamanya dulu.

Lagu ini belum selesai, seperti yang Pak Han bilang di video. Makanya dia selalu menolak mengajarkan pada Doni. Namun, Pak Han kemudian sadar kalau lagu ini, meskipun belum usai tercipta, mungkin bisa memberikan inspirasi kepada orang lain seandainya Doni juga bisa memainkan lagu yang belum selesai ini.

Inspirasi bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga di muka bumi ini. 

“Ingat keluargamu, Don. Ingat ayah dan ibumu. Kamu harus rajin belajar. Selesaikan kuliahmu dengan gemilang. Jika timbul rasa malas, mainkan lagu ini. Lagu ini mengingatkan bapak kalau hidup di bumi ini hanya sementara. Dengan memainkan lagu ini, bapak tetap berjuang, sambil menunggu saat bapak tiba.

"Mainkan lagu ini, sambil membayangkan ayah dan ibu. Niscaya, rajin akan muncul dan malas lenyap dari kamus kehidupanmu.”

Begitulah kata-kata penutup Pak Han di video.

P.S. Cerita pendek ini hanya rekaan belaka. Kalau ada kesamaan cerita dengan Anda, itu cuma kebetulan saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun