Bahkan, kebanyakan dari para “anak bungsu” yang saya kenal ini berlaku “radikal” dengan menolak bantuan dana dari keluarga.
“Saya mengatakan pada orangtua dan kakak-kakak saya supaya mereka tidak usah mengirim uang ke saya, karena saya sudah bekerja. Saya sudah memperoleh pendapatan sehingga bisa membiayai kehidupan saya sendiri,” kata Doni.
3. Si Adik Bungsu tidak ingin terus-menerus tergantung dan “berada di bawah bayang-bayang” Sang Kakak
Kebersamaan antar anggota keluarga tidak mungkin akan langgeng selamanya. Ada yang nanti akan menikah. Ada juga mungkin yang meninggal sebelum usia lanjut.
Tak mungkin terus bersama dengan saudara, terutama kalau saudara tersebut sudah menikah. Takut mengganggu dan merepotkan rumah tangga saudara.
Kebanyakan “Anak Bungsu” yang saya kenal tidak merasa “nyaman” berada di bawah bayang-bayang Sang Kakak.
“Saya tidak ingin terus-menerus tergantung pada Kak Lusi atau kakak-kakak yang lain. ‘Zona nyaman’ yang betul-betul tidak nyaman,” kata Doni tandas.
Mereka ingin sesegera mungkin mandiri, karena bagi mereka, semakin lama tergantung pada kakak, semakin melenakan dan semakin sukar untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada sang kakak, terutama ketergantungan akan tempat tinggal dan finansial.
Saran Saya untuk Sang Adik Bungsu
Seandainya Anda, yang saat ini sedang membaca tulisan ini, berposisi sebagai adik bungsu dan sedang berseteru dengan sang kakak, perkenankan saya memberi saran kepada Anda.
1. Berkomunikasilah, berdialog secara bijak dengan kakak Anda, untuk memecahkan masalah
Kesalahpahaman terjadi karena kurangnya komunikasi. Keengganan dan prasangka terlalu mengambil alih pikiran.
Padahal, seandainya kedua belah pihak berkomunikasi, duduk bersama, berdialog secara bijak, masalah pun bisa terpecahkan.
Dibutuhkan kedewasaan dari sang adik bungsu dalam mengutarakan kepada sang kakak perihal hidup damai di bawah satu atap yang menjunjung asas demokrasi, bukan otoriter.