Tentu saja tidak salah. Sah-sah saja. Tapi nalar berpikir peserta didik akan stuck, berhenti dengan proses copas. Copy-paste. Salin-tempel. Jawaban sudah ada di buku dan rangkuman, sehingga proses berpikir lebih lanjut, seperti mencari solusi atas suatu masalah, mempertanyakan kenapa masalah tersebut bisa terjadi, dan menjelaskan bagaimana memecahkan masalah, semua itu tidak bisa terwujud.Â
Ini menurut opini saya. Mungkin Anda tidak sependapat. Memang, lebih mudah memeriksa PR dan ujian peserta didik kalau soal-soalnya kebanyakan "menyebutkan". Lebih cepat memberi nilai. Namun peserta didik tidak akan berkembang daya nalar berpikirnya, yang akan berguna kelak dalam memecahkan masalah saat mereka beranjak dewasa dan memasuki dunia kerja.Â
Memang ada beberapa pertanyaan "menjelaskan" di PR Ronald yang saya lihat tapi tidak banyak, seperti "Mengapa...", "Jelaskan...", "Bagaimana cara...", dan lain-lain. Itu pun dia mengalami kesulitan untuk menjawab soal. Menurut dia, di rangkuman lebih fokus pada "menyebutkan" dibanding "menjelaskan".
Hampir 90 persen materi rangkuman adalah "menyebutkan".
Evaluasi Diri
Sebagai penutup, sekali lagi, saya mohon maaf kepada teman-teman guru. Pastinya saya menuliskan ini untuk kebaikan kita semua, baik untuk peserta didik, orangtua/wali murid, dan guru.Â
Pemberian rangkuman sebagai alat bantu dari guru kepada peserta didik tentu saja layak diapresiasi, dan menjadi lebih baik lagi fungsinya apabila diberikan kepada peserta didik jauh-jauh hari sebelum ujian dilaksanakan.Â
Dengan begitu, ilmu yang diberikan tidak sekadar numpang lewat belaka.Â
Akhir kata, demikianlah pengalaman di lapangan dan saran saya bagi Anda semua, teman-teman guru yang luar biasa dan para orangtua/wali murid yang sudah berkenan membaca.
Di tengah pandemi, kiranya semangat mendidik terus membara. Demi terciptanya pendidikan Indonesia yang gilang gemilang di masa depan.Â
Tetap semangat.Â
Salam Kompasiana.