Dan terlebih lagi, murid-murid saya yang mengatakan betapa mereka sangat kehilangan.
"Nggak seru sama Miss Windi (bukan nama sebenarnya). Lebih asyik sama bapak," kata Lani (bukan nama sebenarnya), siswi kelas tiga, menatap dengan matanya yang bulat lucu.
"Kangen sama gitar bapak," kata Bianca (nama samaran), murid kelas satu, dengan suara yang ngangenin dan badan yang gemuk.
"Coba bapak tetap aja di sini. Bosan sama Miss Windi," Dodi (bukan nama sebenarnya), siswa kelas enam, menyesalkan kepergian saya.
Senangnya merasa dikangenin banyak orang, susahnya mereka selalu menyesalkan, mempertanyakan berulang kali kenapa saya keluar, dan untuk guru baru, tentu saja jadi sukar kondisinya, apalagi guru yang baru menyandang gelar sarjana dan tak punya pengalaman mengajar sebelumnya.
Para murid dan guru pasti selalu membandingkan antara guru baru dengan guru yang mengajar sebelumnya.Â
Untungnya, saya tak pernah mengalami hal semacam itu, karena guru-guru bahasa Inggris sebelum saya, di sekolah-sekolah dimana saya pernah mengajar, tak pernah ada satu guru bahasa Inggris pun yang seperti saya. Membawa gitar, mengajar menyanyikan lagu dalam bahasa Inggris, melibatkan peserta didik secara aktif dalam mempraktekkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris, mengajarkan permainan-permainan yang mengasah kreativitas peserta didik, dan lain sebagainya.
Di balik kesusahan, ada kesukaan di dalamnya
"Ah, yang di atas sih bukan kesusahan, tapi kesukaan."
Ya, sebenarnya ada kesukaan di balik kesusahan.
Kesukaan dimana mengajar menjadi menyenangkan jika bisa gitaran.
Kesukaan jika murid-murid menyenangi gurunya akan berimbas pada menyenangi pelajarannya.