"Bikin malu aja, Pak. Tidak buat PR, bolos, sekarang surat dari Pak Guru malah sengaja dibuang," kata sang ibu, sedikit terisak.
"Bener begitu, Le? Tole, tole, kok bisa begitu kamu. Itu surat panggilan untuk bapak dan ibu, kamu buang kemana?"
"Hadi robek dulu, Pak. Lalu Hadi buang ke tempat sampah," Hadi tetap tak berani menengadahkan wajahnya. Air mata semakin deras mengucur.
"Ibu jadi malu, Le," ibunya Hadi menitikkan air mata.
Saya jadi tak enak melihat, "Jadi, begini saja, Bapak dan Ibu," Saya langsung menengahi, "Saya pikir sudah cukup sampai di sini saja. Saya harapkan bapak dan ibu untuk lebih memperhatikan pendidikan putra Anda berdua di rumah, karena kami, sebagai guru, tidak bisa memantau perkembangan peserta didik selepas dari sekolah. Kami mohon kerjasamanya. Demi masa depan Hadi.
"Untuk buku," saya mengeluarkan buku pelajaran bahasa Inggris dari tas saya, "Saya akan fotokopikan untuk Hadi. Buku-bukunya sudah diambil sama penerbit, jadi terpaksa saya berikan fotokopinya saja. Besok pagi saya berikan, supaya putra Anda bisa belajar, tidak tergantung pada orang lain."
"Terima kasih banyak, Pak," Ayah dan Ibu Hadi mengucapkan bersamaan.
"Saya mohon pamit, bapak dan ibu, karena saya ada pekerjaan lain sesudah ini. Mohon maaf, kalau sudah mengganggu. Terima kasih atas waktunya," saya beringsut, bangkit, bersalaman dengan ayah dan ibunya Hadi, kakak laki-laki Hadi, dan Hadi.
Ibunya Hadi menemani saya sampai depan pagar. Saya tidak tahu kalau beliau membawa sebuah plastik hitam di tangan. Waktu sudah di depan pagar, ibu itu memberikan plastik hitam itu pada saya, "Ini, Pak, sekedarnya buat bapak."
"Apa ini, Bu?" tanya saya, heran.
"Cuma gula merah, Pak. Mohon diterima."