Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa yang Biasa Anda Lakukan, Menunggu atau Ditunggu?

17 Mei 2019   23:17 Diperbarui: 17 Mei 2019   23:19 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menunggu memang pekerjaan yang paling membosankan. 

Menunggu diperiksa oleh dokter.

Menunggu dipanggil untuk mendapat jatah makanan.

Menunggu giliran sepeda motor maju sesenti demi sesenti, karena terjebak macet di jalan kemarin, disebabkan banjir sehabis hujan.

Banyak sekali hal-hal yang terbuang, baik dari segi waktu, tenaga, dana, dan momen-momen berharga lainnya terlewati, gara-gara menunggu, kalau tidak dimanfaatkan secara produktif.

Namun, kelompok menunggu di atas muncul, karena faktor-faktor yang tidak bisa kita kendalikan.

Kalau "menunggu" karena teman atau saudara kita sering terlambat datang, tentu saja sangat menjengkelkan, dan seharusnya tidak perlu terjadi.

Saya masih ingat pesan ayah saya dulu, waktu beliau masih ada.

Ayah saya berkata, "Jangan biarkan orang menunggu. Lebih baik kita yang menunggu, daripada orang lain yang menunggu kedatangan kita."

Maksudnya, jangan sampai saya membiarkan orang lain menunggu saya, apalagi mereka menunggu saya terlalu lama. Sebaiknya, datang lebih awal. Menunggu orang lain itu datang. 

Kenyataan di kehidupan perihal tunggu-menunggu

Sayangnya, seperti sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan dari rakyat Indonesia mempunyai budaya "jam karet". Meskipun mempunyai jam bermerek yahud, tetap saja datang terlambat. Seakan-akan itu adalah hal biasa, lazim, dan dapat diterima dengan akal sehat.

Biasanya, alasan-alasan yang diberikan selalu klasik.

"Tadi macet di jalan."

"Lembur di kantor."

"Anak-anak belum mandi."

"Ini. Istri lambat dandannya."

"Tadi suami sibuk dengan ikan-ikan hiasnya."

Dan masih banyak alasan lain.

Saya kebanyakan tidak mempedulikan apa pun alasan-alasan yang diutarakan, karena sudah terlalu umum, dan orang-orang tersebut sudah terlalu sering terlambat, bukan hanya satu-dua kali saja terlambatnya.

Mengenai hal "menunggu" ini, saya jadi teringat pengalaman saya di tahun 2000 dan 2001, waktu saya mengajar di salah satu kursus bahasa Inggris di Samarinda.

Karena saya ingat akan pesan ayah saya soal "menunggu" tadi, saya berusaha memberikan yang terbaik. Tentu saja, mengawali dengan baik adalah koentji untuk menjalani proses bekerja dengan baik sampai akhir kerja. Seperti halnya, dulu saya pernah membaca buku tentang legenda bulutangkis Indonesia, Rudy Hartono, peraih gelar juara All England, kejuaraan bulutangkis terkemuka di dunia, sebanyak delapan kali, dan masih belum terpecahkan sampai saat ini.

Di dalam buku "Rajawali Dengan Jurus Padi" yang menceritakan tentang sepak terjang beliau dari sejak kecil sampai pensiun dari bulutangkis, selain teknik dan latihan spartan, salah satu kunci sukses Rudy Hartono adalah tidak datang terlambat ke pertandingan. Kalau sering terlambat, niscaya pencapaian prestasinya tak akan bisa seperti itu. 

Karena itu, saya berusaha disiplin, datang sebelum waktu mengajar, mungkin malah terlalu cepat datang. Setengah jam sebelumnya saya sudah datang, tiba di kursus. 

Beberapa rekan guru terkadang meledek saya.

"Ngapain kamu cepat datang ke kursus? Kan belum ada murid yang datang. Terlalu cepat kamu datang. Kamu jadi melongo di sana," kata Roy (bukan nama sebenarnya), salah seorang rekan guru di kursus, mengomentari.

"Ya, kan kita nggak tahu, mungkin saja sesuatu terjadi di jalan, misalnya ban bocor, atau ada kemacetan. Lebih baik datang lebih awal, jadi tidak buru-buru di jalan. Memperkecil resiko kecelakaan," begitu saya memberi alasan.

Waktu ada evaluasi akhir tahun di bulan Desember 2000, saya kaget saat menerima predikat Teacher of the Year.

Kenapa kaget?

Karena saya tidak menyangka, mengingat banyak rekan guru yang lebih mumpuni dalam mengajar dibanding saya. Namun alasan dari Bu Lia (bukan nama sebenarnya), sang pemilik kursus, membuat semua orang tahu kenapa saya yang terpilih.

"Karena Pak Anton seorang tutor yang disiplin, mengajar dengan penuh dedikasi, ...."

Masih banyak lagi yang beliau utarakan, namun kata pertama yang muncul adalah "disiplin".

Hadiah yang saya dapat waktu itu adalah tape recorder.

Tahun berikutnya, 2001, saya mendapat predikat yang sama, Teacher of the Year, dan mendapat hadiah jam tangan.

Alasan kenapa meraih predikat tersebut kembali? Lagi-lagi "disiplin" menjadi kata kunci, meskipun sebenarnya saya tidak ingin terpilih kembali. 

"Oya, Pak Anton. Pesan dari ibu, kalau bapak ingin memotong rantai jam supaya lebih pendek dan pas di pergelangan tangan, bapak bisa pergi ke toko jam A di jalan B, Pak," kata Susan (bukan nama sebenarnya), salah seorang tenaga administrasi.

Saya pun pergi ke toko jam tersebut untuk memotong rantainya.

"Oh, kamu dari kursus Z ya?" tanya pemilik toko jam tersebut.

"Kok tahu?" tanya saya heran.

"Iya, ini jam tangan yang bosmu beli minggu lalu," katanya sembari memotong rantai jam supaya pas di pergelangan tangan saya.

"Pak, kalau boleh tahu, harga jam ini berapa waktu dibeli bos saya?"

"500 ribu."

Saya kaget. 

Untuk urusan jam tangan, bagi saya, jangankan 500 ribu, 100 ribu saja sudah terlalu mahal di tahun itu, menurut ukuran saya.

Setengah juta untuk harga kedisiplinan.

Meskipun ada beberapa rekan guru yang iri dengan saya, namun saya tidak terlalu mempedulikan, karena bagi saya pribadi, disiplin itu adalah bukti kesungguhan setiap kita dalam bekerja dan melakukan segala sesuatu. Bekerja pun ibadah. Kalau tidak disiplin, berarti termasuk dalam kategori tidak menjalankan ibadah dengan benar.

Bagaimana Menjadi Orang yang "Menunggu"?

Nah, sekarang pertanyaan yang mungkin ada di benak Anda adalah : Bagaimana menjadi orang yang "menunggu"?

Tentu saja, tidak sesusah membuat roket ^_^.

Menurut saya, tiga cara ini, yang sudah saya lakukan sejak dulu dan terbukti menjadi koentji sukses, yang membuat saya jadi seperti sekarang.

1. Datang tepat waktu

Kalau memungkinkan, malah jauh sebelum waktunya. Karena kemungkinan ada hambatan atau masalah di jalan, seperti ban bocor, macet di jalan, hujan lebat, atau masalah lain. 

Kakak saya, Gina (bukan nama sebenarnya) berprofesi sebagai guru piano di salah satu yayasan musik terkemuka di Jakarta. Untuk menjadi pengajar, dia harus mengikuti tes, baik untuk mendapatkan ijazah sebagai pengajar, maupun untuk naik tingkat ke level yang lebih tinggi, meningkatkan kompetensinya sebagai pengajar.

Pengujinya ada beberapa yang dari Jepang.

Tentu saja, kita semua sudah tahu keunggulan Jepang. Di bidang otomotif sudah tidak diragukan, dan terlebih dalam segi kejujuran dan disiplin waktu. 

"Penguji dari Jepang itu sangat disiplin. Terlambat semenit aja tidak bisa ujian," kata Gina.

Kalau di Indonesia?

Mungkin Anda pernah mendengar pemeo yang berbunyi, "Kalau bisa diperlambat, ngapain harus dipercepat." 

Mudah-mudahan Anda tidak menganut faham pemeo ini ^_^.

Datang tepat waktu, kecepatan, adalah suatu syarat, apalagi di era digital sekarang.

2. Hargai waktu orang lain. Jangan biarkan mereka menunggu terlalu lama

Kalau pun kemungkinan Anda datang terlambat, beritahukan kepada teman atau saudara, lewat telepon langsung atau pesan singkat, kalau Anda terlambat datang menemui mereka. 

Hargai waktu orang yang menunggu kedatangan Anda. Mereka sudah meluangkan waktu untuk bertemu dengan Anda. 

Saya teringat dengan dosen saya waktu kuliah dulu. Pak Danu, sebut saja begitu, berbeda dengan dosen-dosen yang lain. 

Kebanyakan dosen biasa datang terlambat dan tidak merasa bersalah, serta tidak mengucapkan maaf kalau terlambat datang. Pas giliran mahasiswa datang terlambat, dosen-dosen tersebut marah. 

Tapi ada juga sebagian kecil dosen yang rajin, datang tepat waktu, dan mengajar dengan baik. Pak Danu adalah salah satunya. Beliau, selain kami senangi karena mengajarnya sistematis dan mudah dipahami, juga demokratis. Kenapa saya bilang beliau demokratis? Karena beliau meminta persetujuan kami, para mahasiswa yang diajarnya, atas aturan yang diusulkan beliau.

"Begini. Saya kurang begitu suka dengan keterlambatan. Oleh karena itu, kita buat kesepakatan. Batas toleransi 15 menit terlambat. Lewat dari 15 menit, siapa pun tidak boleh masuk ke kelas untuk mengikuti perkuliahan mata kuliah saya di hari tersebut. Kalau pun tetap ngotot masuk, tetap dihitung alpa. Sampai tiga kali alpa, saya tidak akan mengeluarkan nilai sang mahasiswa. 

"Kalau saya terlambat lebih dari 15 menit, berarti saya tidak mengajar kalian di pertemuan tersebut. Saya dihitung alpa mengajar, jadi honor saya juga akan dipotong oleh pihak universitas. Bagaimana? Setuju?"

Tentu saja, karena waktu itu, kami masih mahasiswa baru, dan belum mengenal karakter beliau, kami malah senang dengan aturan itu. Dengan begitu, kami bisa tidak masuk kuliah, dengan catatan beliau datang terlambat lebih dari 15 menit. 

Tapi, saya dan kawan-kawan jarang sekali mendapati beliau datang terlambat. Malah kami merasa sangat rugi kalau beliau tak datang mengajar. Selain sudah membayar SPP yang mahal, beliau berbeda dengan yang dosen-dosen lain. Tanpa bermaksud mendiskreditkan lulusan dalam negeri, mungkin karena beliau mengambil gelar Master di Amerika Serikat yang lekat dengan budaya tepat waktu, makanya beliau selalu konsisten, disiplin dengan waktu. Termasuk komitmen dengan ucapan beliau soal 15 menit terlambat tadi.

Pernah ada satu atau dua kali (saya lupa pastinya ^_^), beliau datang terlambat ke kampus lebih dari 15 menit. Kami, para mahasiswa, mengira beliau akan masuk mengajar kami, mengingkari komitmennya. Ternyata beliau tetap kukuh dengan kesepakatan 15 menit. Beliau hanya datang ke kampus untuk sekadar meminta maaf pada kami, dan juga ada sedikit keperluan di kantor tata usaha. Padahal, kami semua tidak keberatan kalau beliau masuk mengajar, karena kami suka cara beliau mengajar. Tidak membosankan.

Namun beliau menolak, "Saya harus tetap memegang prinsip. Kalau saya mengingkari janji, kalian akan meragukan integritas saya," kata beliau sambil tersenyum.

Bagi saya, itu adalah integritas yang bagus sekali dari sosok dosen, yang biasanya suka mau menang sendiri, tapi Pak Danu adalah perkecualian.

3. Buat perencanaan pengelolaan waktu

Orang sukses biasa dengan manajemen waktu. Tanpa "TAPI" dan "NANTI".

Kalau waktu digunakan secara serampangan, atau mengerjakan sesuatu kalau sudah mendekati deadline, itu membuktikan kalau Anda tidak bisa mengatur waktu Anda dengan baik. 

Januar, sebut saja begitu, salah seorang teman saya, berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di salah satu SMP Negeri di Samarinda.

Sejak lama, saya melihat dia selalu sibuk dengan seabrek kegiatan di luar pekerjaan utama sebagai guru, dan kalau di rumah, dia melakukan berbagai hal dalam waktu yang bersamaan. Istilah asingnya Multitasking. Menonton tv, mengetik tugas kuliah S2-nya, membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bermain game, dan lain-lain, di waktu yang bersamaan.

Akibatnya jelas. Tak satu pun yang dia selesaikan dengan baik. Dan seringnya, dia malah merepotkan saya dengan tugas kuliahnya atau tugas dari organisasinya, padahal dia menjabat sebagai sekretaris di organisasi tersebut. Mengatur margin di pengolah kata saja dia tak tahu!

"Kalau teman bisa dimanfaatkan, kenapa tidak?" katanya enteng.

Sejak itu, saya menghindari dia, karena dia berteman dengan saya, karena saya bermanfaat untuk dia. Dia memanfaatkan saya, bukan dia yang bermanfaat atau memberi manfaat ke saya.

Tugas-tugasnya juga selalu mendesak. Malam dia datang ke rumah saya untuk meminta tolong pada saya, mengerjakan tugasnya. Besok pagi dia harus menyerahkan tugas tersebut ke dosennya. Selalu seperti itu. Satu hari menjelang dikumpul baru dikerjakan. Selain sering terlambat datang mengajar ke sekolah, dia juga tidak punya manajemen waktu yang baik. Tugas harus sudah dikumpul besoknya, baru kalang kabut. Padahal tugas tersebut sudah diberikan oleh dosen kuliah S2-nya jauh-jauh hari, namun dia baru mengerjakan sehari sebelum hari terakhir pengumpulan tugas.

Saya lebih baik kehilangan satu teman yang suka "memanfaatkan" orang seperti Januar ini, daripada manajemen waktu saya jadi rusak gara-gara dia.

Masih banyak teman yang lebih baik dibanding dia.

Menunggu atau Ditunggu, Itu Pilihan Anda

Ya, sekarang kembali pada Anda, apakah Anda tipe orang yang "menunggu" atau "ditunggu". 

Kalau Anda tipikal orang yang suka "menunggu"; datang tepat waktu, menghargai waktu orang lain, dan mengelola waktu dengan bijak; two thumbs up untuk Anda.

Namun kalau Anda tipikal orang yang suka "ditunggu", suka datang terlambat, membiarkan orang lain menunggu kedatangan Anda tanpa memberitahu alasan Anda terlambat sebelum bertemu, dan amburadul dengan manajemen waktu, sudah seharusnya Anda bertobat.

Kenapa?

Selain merugikan orang lain, juga merugikan diri Anda sendiri, karena dengan begitu, banyak orang tidak akan percaya lagi dengan kedisiplinan Anda; dan banyak peluang yang akan Anda lewati, karena Anda tidak disiplin dengan waktu pengerjaan tugas atau proyek yang diberikan. Kalau pun selesai, dikumpul persis pada hari H, maka kualitas produk tidak prima, sehingga cap 'rata-rata' atau malah 'kualitas rendah' akan melekat di jidat Anda.

"Jadi, tentukan pilihan Anda, karena pilihan Anda akan menentukan masa depan Anda."

*

Samarinda, 17 Mei 2019

Anton

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun