"Ayo, Helda. Dimakan."
Mas Brian memang laki-laki yang baik.
Dia tak pernah berperilaku kasar. Selalu menyenangkan. Sehabis ibadah, pasti mengajak beberapa anggota jemaat gereja, termasuk Helda dan orangtua, untuk makan siang bersama di restoran terdekat.
Usianya sudah tak muda lagi. Sudah mau masuk angka empat. Penampilan pun tidak tampan. Biasa-biasa saja. Namun, Brian punya karakter yang meneduhkan, ramah dan tentu saja, selalu loyal pada siapa saja.
"Pak Brian, kapan nih undangan nikahnya?" tanya Bu Dona, salah seorang jemaat.
"Wah, belum ada yang nyantol nih, Bu," jawab Brian sambil tersenyum sopan.
"Ah, masa laki-laki seganteng dan semapan Pak Brian ndak ada yang mau? Atau Pak Brian yang milih-milih?" Bu Dona mengerling sejenak ke Helda, yang jadi jengah, pipi jadi bersemu merah.
"Ya, tentu saja harus memilih yang tepat, Bu. Kan menikah itu untuk seumur hidup, sampai maut memisahkan, tidak boleh bercerai, hanya ajal yang menceraikan."
"Iya sih, Pak. Tapi kan sudah ada bidadari di depan bapak. Kenapa tidak langsung dilamar saja?" kata Bu Dona sambil mengerling ke Helda.
Helda tambah bersemu merah pipinya.
"Ayo, Bu Dona. Dimakan," Brian langsung mengalihkan topik pembicaraan ke makan kembali. Dari sudut matanya, dia sempat melirik Helda dengan tersenyum.