"Da, emangnya gak ada cowok lain?" tanya Lusi, teman satu kos Helda.
"Maksudmu?" Helda bingung.
"Ryo itu kan sudah agak berumur. Tampilan memang masih terlihat dua puluhan lewat, tapi kenyataan kan dia udah tiga lima lewat. Belum lagi, fisiknya kan tidak sempurna. Tangan dan kaki agak berbeda dari orang kebanyakan."
"Bilang aja Ryo itu punya kaki pengkor dan tangan cacat. Gitu aja belat-belit."
"Ya, itu maksudku," Lusi menyambar pisang goreng di piring Helda. Sialan, tinggal satu, langsung diembat sama kuntil satu ini, gerutu Helda dalam hati.
"Lagian," Ternyata Lusi belum selesai, "Dia itu kan cuma kerja jadi admin. Berapa sih gaji admin? Gak seberapa."
"Kan cinta tidak hanya diukur dari uang semata."
"Ya, memang, tapi segalanya kan butuh uang. Cuma mengandalkan cinta tidak akan berjalan langgeng kalau tidak ada uang. Realistis lah."
"Gak usah ikut campur. Ini hubunganku dengan Ryo. Kamu kan gak ada hubungan keluarga denganku atau Ryo. Kamu gak berhak rese dengan hubungan kami."
"Sebagai teman, aku cuma memberikan saran. Ya, terserah kamu. Mau terus sama Ryo ya urusan kamu."
Namun Helda berpikir, merenung. Lusi sering bercanda, tapi kali ini dia ada benarnya.