Mohon tunggu...
Halma Fadhila
Halma Fadhila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tidak apa-apa salah, tidak apa-apa insecure, tidak apa-apa minder, asalkan sadar kalau itu semua hanya bagian dari dunia. Masih banyak kesempatan untuk menjadi lebih baik, belajar dari masa lalu, dan berdamai dengan kekurangan. Tidak ada makhluk ciptaan Allah SWT. yang tidak berguna, bahkan sesederhana mengucapkan salam, tersenyum, dan menjadi pendengar yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Oknum

9 Februari 2024   12:00 Diperbarui: 9 Februari 2024   12:31 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pisau jika semakin diasah akan semakin tajam. Melukai siapapun dari dua sisinya yang sama-sama tajam. Menebas urat nadi orang-orang yang tidak bersalah demi melindungi Oknum yang kini menghembuskan nafas kasar, muak mendengar isi hati teman-teman satu selnya yang menurutnya tidak berguna. Mereka meraung-raung meminta kebebasan yang seharusnya tidak perlu mereka minta, sedangkan ia hanya perlu duduk manis sambil menunggu ... Menunggu orang-orangnya menyelesaikan perkaranya.

Si Oknum berdecak kesal tatkala teman-teman satu selnya tidak kunjung diam. Kepalanya pusing memikirkan bagaimana nasib setelah ia keluar dari sini, apa ia akan turun jabatan? Investor-investornya kabur? Anak-anaknya dibuli? Rumahnya disita oleh bank? Jatuh miskin? Atau bahkan ia tidak akan keluar? Tidak, tidak! Itu tidak boleh terjadi.

Sampai sebelum ia ditangkap kemarin sore, ia sudah berjuang mati-matian untuk mendapat dukungan semua itu. Harta, tahta, dan nama. Berkat ia yang menjadi pemegang perusahaan ternama itu, ia jadi terkenal. Investor-investor banyak yang datang sendiri padanya mengajukan kerja sama, teman-temannya jadi lebih sering mengajaknya bermain golf, anak-anaknya mendapat teman yang banyak dan disukai oleh banyak laki-laki, begitupun istrinya yang banyak diirikan oleh teman-teman arisannya karena barang-barang branded melekat apik di tubuhnya.

Si Oknum mengacak surainya kasar. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keluarga dan karirnya akan hancur jika ia terbukti bersalah dipersidangan nanti. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi mengingat orang kepercayaannya justru mengkhianatinya dengan melaporkan sisi gelap perusahannya ke kepolisian. Ia jadi menyesal tidak mempercayai orang kepercayaan satunya lagi bahwa orang kepercayaan satu sebenarnya tidak berada dipihak mereka.

Kejadiannya kemarin sore, tepat setelah jam kantor berakhir. Semua karyawan kecuali yang mendapat jatah lembur sudah pulang, kantor mulai sepi. Si Oknum waktu itu sedang menatap layar komputernya yang menampilkan grafik sahamnya yang meningkat drastis sembari memegang sebuah gelas yang berisikan cairan merah beralkohol yang harganya tentunya sangat mahal. Senyum kepuasan tercetak diwajahnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan dini. Ia berdecak kagum, ternyata pemalsuan data yang ia kerjakan bersama orang kepercayaan satu membuahkan hasil yang sangat manis.

Lalu ponselnya berdering sekali, putri keduanya menelepon. Si Oknum semakin melebarkan senyumnya hingga deretan gigi-giginya yang memerah terlihat. Tanpa menunggu lama ia langsung mengangkat telepon tersebut. Menyapa sang putri dengan nada yang begitu ceria seolah-olah dunia sudah digenggamnya. Namun, tak lama kemudian senyum itu luntur kala ia mendengar isak tangis sang putri yang terdengar tertahan. Si Oknum menegakkan tubuhnya, bertanya pada sang putri apa yang terjadi lalu di mana Ibu. Anak Kedua tidak menceritakannya, ia hanya mengatakan pada ayahnya untuk segera pulang dan ... Ada polisi di rumah mereka.

Deg!

Jantungnya serasa berhenti memompa darah, detik itu juga sambungan telepon terputus. Si Oknum menolehkan kepalanya patah-patah ke arah layar komputer yang masih menampilkan gambar yang sama dengan wajah memucat. Tiga detik termenung Si Oknum langsung menyambar tas kerjanya juga kunci mobilnya lalu berlari terbirit-birit menuju parkiran dan tancap gas menembus jalanan padat menuju rumahnya yang cukup jauh. Selama diperjalanan Si Oknum tidak henti-hentinya berdecak, mengumpat, menggigit bibir, pun tangan dan kakinya yang tidak bisa diam, bergerak-gerak tak beraturan, khas orang resah menunggu lampu merah berganti hijau.

Lima belas menit menempuh perjalanan yang tidak mengenakkan, Si Oknum akhirnya sampai di depan rumah besarnya. Benar apa yang Putri Kedua katakan, tiga mobil polisi dan beberapa polisi sedang menginterogasi istrinya sedangkan kedua anaknya menangis di balik tubuh sang istri. Itu anak pertama dan ketiga, lalu di mana anak kedua? Pertanyaan tersebut terjawab tak berselang lama tatkala putrinya yang tadi meneleponnya berlari dari dalam rumah dan berhambur memeluknya dengan tangis yang sudah pecah.

Semua perhatian terpusat pada Si Oknum. Ia dengan kikuk mengusap punggung sang anak yang bergetar ketakutan di pelukannya, lantas ia membawa sang anak kedua mendekati kerumunan kecil tersebut. Ia meminta istrinya untuk membawa anak-anak ke dalam rumah, biar ini ia yang urus.

"Ada apa, Pak?"

Si Oknum bertanya dengan jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. Ia harap-harap cemas apa yang ada dipikirannya tidaklah mungkin terjadi. Begitu salah satu polisi menjawab, tubuhnya langsung menegang.

"Anda diminta untuk datang ke kantor polisi atas laporan pemalsuan data perusahaan, pengambilan dana yang bukan hak Anda, gaji karyawan yang tidak sesuai dengan jam kerja, dan pemerkosaan terhadap salah satu karyawan Anda, serta pencabulan terhadap anak di bawah umur."

Si Oknum menggeleng keras, ia menyangkal. Bukan, ia tidak mungkin melakukan itu. Fitnah, ia dikambinghitamkan oleh orang-orang yang iri pada kesuksesannya. Ini pasti ulah orang-orang yang ia tolak kerja samanya kemarin lusa. Pemerkosaan? Bukan ia yang memerkosa, tapi wanita jalang itu yang menggodanya dan memasukkan obat ke dalam minumannya. Anak kecil mana yang cabuli? Sejak sebulan yang lalu ia sibuk dengan pembangunan hotelnya di Amsterdam. Kapan ia punya waktu untuk memuaskan nafsu?

Namun, polisi itu tidak peduli. Mereka tetap memaksa Si Oknum untuk datang ke kantor polisi dan menjelaskan semuanya di sana. Si Oknum berusaha kembali mengeluarkan alibi ini itu. Ia semakin dilanda kepanikan ketika melihat istrinya luruh di dekat pintu sambil menutup mulut menatapnya tidak percaya. Si Oknum segera menghampiri istrinya, berusaha memeluknya, menenangkannya. Mengatakan bahwa semua itu tidak benar dan semuanya akan baik-baik saja, tapi sang istri menolak pembelaan tersebut. Justru kepalanya ditampar hingga dunianya serasa berputa-putar.

"Pembohong! Kau pembohong!"

Si Oknum kembali menggeleng keras. Ia memohon pada istrinya untuk mendengarkannya dulu. Tapi, tamparan kedua ia dapatkan di pipi bagian satunya lagi.

"Yang kau perkosa itu kakak iparmu sendiri yang sudah bersuami! Yang kau cabuli itu keponakanmu sendiri! Pembelaan apa lagi yang kau berikan?! Aku sudah tahu semuanya, bajingan keparat! Tunggu surat perceraian dariku!"

Si Oknum tidak terima, istrinya sudah berani menamparnya dan membentaknya seperti itu. Amarah sudah menguasai tubuhnya, ia mencengkeram dagu sang istri hingga memekik kesakitan dan minta untuk dilepaskan.

"Kau sudah aku beri hidup enak, makan makanan lezat setiap hari, baju-baju baru, perhiasan mahal. Kalau tidak kau pasti sudah menggembel dan tidur di bawah kolong jembatan. Tapi, kau tidak tahu terima kasih dan hormat sedikitpun pada suamimu. Kembalikan semua yang sudah aku berikan kalau kau mau bercerai dariku!"

Si Oknum membalas sang istri tak kalah sarkas. Kemudian ia mencekik leher sang istri hingga wajah sang istri mulai puas.

Dua orang polisi langsung menahan tangan Si Oknum, mengerahkan tenaga mereka untuk melepaskan tangan Si Oknum dari leher istirnya. Si Oknum memberontak hingga tangannya terlepas dari leher sang istri. Ia baru teringat kalau masih ada polisi di sini. Ia harus kabur, begitu pikirnya. Maka dengan akal busuknya, ia menghempaskan kedua polisi yang menahan tangannya tadi hingga terjungkal, melempar vas bunga berukuran sedang ke arah dua orang polisi yang mendekat, lalu berlari kencang menuju mobilnya.

Namun, naas. Timah panas sudah lebih dulu menembus kakinya tiga meter sebelum ia mencapai mobilnya.

***

Si Oknum kembali menghela nafas dengan pandangan kosong. Ketika ia terbangun tadi, ia sudah berada di kasur rumah sakit yang keras. Tangannya diborgol dan dikaitkan dengan tepi kasur, di ruangan itu ada beberapa polisi dan satu pengacara, sepertinya. Si Oknum kembali memberontak minta dilepaskan, ia meraung-raung bak orang kesetanan hingga jatuh dari kasur dan tangannya terkilir karena masih diborgol dan kakinya yang terasa nyeri.

Di sana ia diberi obat penenang dan kembali pingsan selama dua jam. Entah efek obat penenang itu masih berjalan, Si Oknum yang tidak memiliki tenaga, atau ia sudah pasrah kala kepolisian membacakan seluruh perbuatan bejat yang ia lakukan disertakan bukti yang membuat ia bungkam. Keputusan finalnya ia ditahan untuk sementara waktu sampai waktu persidangan tiba dan pengumpulan bukti-bukti pembelaan dari pengacaranya sendiri.

"DIAM!"

Si Oknum menatap tajam satu-persatu orang yang memakai seragam yang sama dengannya yang kini menatapnya heran. Ia kemudian bangkit dengan tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya, borgol yang mengekangnya lepas oleh amarahnya. Ia menunjuk teman-teman selnya satu persatu sembari mengitari mereka.

"KAU KAN YANG MELAPORKANKU?!"

"KAU KAN YANG IRI PADAKU?!"

"KAU KAN YANG AKU TOLAK BEKERJA SAMA? LALU KAU BALAS DENDAM?!"

"HAHAHAH!"

"HAI, SAYANG. TUBUHMU SANGAT NIKMAT, AYO KITA LAKUKAN LAGI!"

"NAK, SINI. DUDUK DI SINI, NANTI KAU AKAN DAPAT SERATUS!"

"KAU! ISTRI SIALAN! JALANG TIDAK TAHU DIRI! MATILAH KAU! MATI!"

"AKU SUDAH KAYA! TIDAK ADA YANG BISA MAIN-MAIN DENGANKU! MAIN MASAK-MASAK BISA! AYO BERMAIN. HAHAHAHA! HA ... Ha ... ha."

Si Oknum tiba-tiba terdiam dengan nafas tersengal. Ia berjalan pelan menuju sudut sel dengan kepala tertunduk dan pandangan yang tidak berarti apa-apa. Sedangkan teman-teman satu selnya hanya diam sesuai instruksi polisi yang tadi langsung datang saat Si Oknum berteriak pertama kali. Si Oknum membenturkan kepalanya ke tembok dengan gerakan pelan, namun berulang. Air mata luruh satu persatu dari matanya yang sudah sayu.

Apa ini akhir baginya? Lalu bagaimana dengan harta yang sudah ia kumpulkan untuk bermain masak-masak dengan anaknya nanti? Bagaimana dengan keponakannya yang sudah ia janjikan seratus? Bagaimana dengan kakak iparnya yang sekarang sudah melahirkan anak dari buah nafsu mereka? Bagaimana dengan istrinya yang kemarin ia cekik?

Mati?

HAHAHAHA!

AAAAAAAAAAKKKHHH!

MATI!

DUG!

Para polisi dan teman-teman satu selanya hanya menonton kala Si Oknum membenturkan kepalanya dengan kuat pada tembok hingga pingsan dan kening berdarah. Bukannya mereka tidak ingin melerainya, tapi bukankah percuma? Orang gila mana yang mau dicegah? Sejak Si Oknum masuk sel, polisi yang memasukkannya sudah memberi tahu bahwa Si Oknum mungkin akan bertindak di luar nalar nantinya. Maka dari itu mereka lebih baik diam.

***

Apa benar Si Oknum pingsan?

Kenapa tidak mati saja?

Sampah sepertinya tidak pantas untuk hidup meski itu di balik jeruji besi ataupun rumah sakit jiwa.

Bahkan kolong jembatan pun haram untuk Si Oknum huni.

***

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun