"Alhamdulillah," Senja tersenyum. "Ram, kamu percaya gak, kadang kita cuma butuh tiga puluh detik untuk mengubah hidup kita?"
Rama menatapnya bingung, tapi Senja hanya tersenyum. Beberapa pengalaman memang lebih baik dihayati sendiri.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam lima hari, Senja tidur nyenyak. Dalam mimpinya, dia melihat dirinya berdiri di podium konferensi, mempresentasikan penelitiannya dengan percaya diri. Di barisan depan, dia melihat Bu Ratih tersenyum bangga, dan ibunya yang berkaca-kaca.
Ketika terbangun keesokan paginya, tepat tiga puluh detik sebelum fajar, Senja tersenyum. Dia tahu, ini hanya awal dari perjalanan panjangnya. Masih akan ada banyak tantangan, banyak malam tanpa tidur, banyak air mata, dan banyak keraguan. Tapi setidaknya dia tahu sekarang, bahwa setiap fajar membawa harapan baru, dan setiap detik adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Dia bangkit, mengambil wudhu, dan menggelar sajadahnya. Kali ini, dalam sujudnya, dia tidak hanya bersyukur. Dia juga memohon kekuatan untuk perjalanan berikutnya. Karena dia tahu, setiap pencapaian bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tantangan baru.
Di luar, fajar mulai menyingsing, membawa janji baru untuk hari yang baru. Dan Senja, dengan nama yang ironisnya mengingatkan pada senja hari, telah belajar untuk mencintai fajar dan semua harapan yang dibawanya.
Dia membuka jendela kamarnya lebar-lebar, membiarkan udara pagi memenuhi paru-parunya. "Terima kasih," bisiknya pada langit yang mulai terang. Terima kasih untuk tiga puluh detik yang mengubah hidupnya. Terima kasih untuk pelajaran berharga tentang kesabaran, ketekunan, dan kepercayaan. Dan terima kasih, untuk pengingat bahwa kadang-kadang, keajaiban datang tepat ketika kita nyaris menyerah.
Satu minggu kemudian, Bandung.
Senja berdiri di depan cermin hotel, merapikan blazer biru tuanya. Hari ini adalah hari presentasinya di konferensi nasional. Jam dinding menunjukkan pukul 04:29:30 pagi. Lagi-lagi, tiga puluh detik sebelum fajar.
Dia tersenyum mengingat bagaimana angka-angka itu kini memiliki makna khusus dalam hidupnya. Sejak pengalaman dengan skripsinya, dia selalu bangun di waktu yang sama, menjadikan momen ini sebagai ritual pribadinya untuk memulai hari.
"Bismillah," bisiknya pada bayangan di cermin.