"Tapi," Bu Ratih melanjutkan, "ada satu hal yang perlu kamu perbaiki."
"Apa itu, Bu?"
"Dirimu sendiri." Bu Ratih menatapnya dengan tatapan seorang ibu. "Kesuksesan akademis tidak boleh mengorbankan kesehatan. Kamu berbakat, Senja. Tapi bakat saja tidak cukup. Kamu perlu belajar menyeimbangkan semuanya."
Senja mengangguk, teringat pesan ibunya dan pengalaman spiritualnya tadi pagi.
"Minggu depan ada konferensi nasional di Bandung," lanjut Bu Ratih. "Saya ingin kamu mempresentasikan penelitianmu di sana. Tapi sebelum itu, saya mau kamu istirahat. Minimal tiga hari. Tidak ada diskusi."
Senja tersenyum di antara air matanya. "Terima kasih, Bu. Untuk semuanya."
Ketika keluar dari ruangan Bu Ratih, langit sudah berubah jingga. Senja berhenti di koridor, memandang matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Ironis, namanya Senja, dan hari ini dia belajar banyak dari fajar.
Ponselnya bergetar. Pesan dari ibunya: "Bagaimana tadi, Nak?"
Dengan jari bergetar karena bahagia, dia membalas: "Alhamdulillah, Bu. Senja lulus. Dan... ada kejutan lain. Nanti Senja cerita di rumah ya. Minggu depan Senja pulang."
Dia melangkah keluar gedung fakultas dengan hati ringan. Di gerbang kampus, dia berpapasan dengan Rama, teman seangkatannya yang juga sedang berjuang dengan skripsi.
"Sen! Gimana tadi?" tanya Rama.