"Tapi Allah selalu punya rencana terbaik, Nak," sambung ibunya. "Ibu selalu percaya, kesulitan itu seperti fajar. Meski malam terasa panjang dan gelap, fajar pasti datang pada waktunya."
Malam itu, setelah mengantarkan ibunya ke stasiun untuk kembali ke Yogya, Senja duduk di balkon kamar hotelnya. Kota Bandung berkilauan di bawah, dan bintang-bintang bertaburan di atas. Dia membuka laptop dan mulai menulis:
"Tiga puluh detik sebelum fajar mengajarkanku bahwa hidup adalah rangkaian momen-momen pendek yang menentukan. Setiap detik adalah kesempatan untuk menyerah atau bertahan, untuk putus asa atau berharap. Dan kadang-kadang, justru di detik-detik terakhir sebelum fajar, ketika kegelapan terasa paling pekat, keajaiban terjadi..."
Dia tersenyum. Tulisan ini akan menjadi pembuka untuk buku yang akan ditulisnya, sebuah buku motivasi untuk mahasiswa yang sedang berjuang dengan skripsi mereka. Karena dia tahu,
di luar sana, ada ribuan 'Senja' lain yang mungkin sedang berada di titik terendah mereka, menunggu fajar mereka sendiri.
Ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal dari Jepang. Profesor yang tadi menawarkan beasiswa rupanya serius dengan tawarannya. Dia ingin Senja mulai mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan.
Senja menatap langit malam Bandung sekali lagi. Dulu, namanya terasa ironis karena selalu mengingatkan pada akhir hari. Tapi sekarang dia tahu, bahwa setiap senja selalu membawa janji akan fajar yang baru. Dan besok, seperti hari-hari sebelumnya, dia akan bangun tiga puluh detik sebelum fajar, menyambut hari baru dengan harapan baru.
Karena kini dia paham, bahwa keajaiban tidak selalu datang dalam bentuk yang spektakuler. Kadang, keajaiban hadir dalam tiga puluh detik yang mengubah segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H