“Kasihan. Kalau begitu, bawa saja payung Oma!” kata Oma Ida sambil memberikan payungnya.
Nina terperanjat. Ia tahu Oma Ida bukan orang yang suka berbasa-basi.
“Tidak, terima kasih, Oma. Di depan sana aku akan naik angkot. Sebelum hujan pasti sudah tiba di sekolah!”
Ada perasaan menyesal di hati Nina karena telah berbohong. Habis Nina malu kalau mengaku ia malas membawa payung.
“Tujuan Oma lebih dekat. Tuh, rumah sakitnya sudah kelihatan dari sini!” kata Oma sambil menunjuk bangunan tinggi berwarna merah bata di kejauhan.
“Jangan Oma, terima kasih!” kata Nina dan ia melambaikan tangan pada angkot yang sedang berhenti di ujung gang. Nina mempercapat langkahnya dan naik ke dalam angkot sesudah ada kesepakatan harga.
“Hati-hati, ya, Nak!” pesan Oma Ida sambil berdiri di dekat angkot. Angkot meluncur dan Oma Ida meneruskan perjalanannya. Hujan gerimis mulai turun dan Oma Ida mengembangkan payungnya.
Di dalam angkot, Nina bersyukur. Hujan gerimis berubah menjadi hujan deras, tapi Nina sudah aman di dalam angkot. Angkot berhenti di pintu gerbang sekolah dan Nina bisa menumpang payung temannya yang baru turun dari mobil.
Ketika sekolah usai, cuaca sudah cerah. Nina pun pulang ke rumah. Papa sudah menunggunya seperti biasanya, “Makanlah. Ada bistik sapi kesukaanmu!” kata Papa. “Kamu tidak kehujanan tadi pagi?”
“Tidak, Pa. Yang kena hujan angkotnya. Perhitungan Nina hampir tepat, kan, Pa. Nina bilang kalau sudah sampai di sekolah baru hujan turun. Ternyata ketika Nina sudah naik angkot, eh ... baru hujannya turun!”
“Dasaaar. Sudah salah perhitungan, kok, masih merasa hampir tepat!” kata Papa sambil tertawa.