Sebuah payung berguna untuk melindungi kita pada waktu hujan ataupun panas. Namun, bagi Nina payung memiliki arti tersendiri. Payung telah membuat Nina jera untuk asal omong. Pagi itu udara sangat mendung. Nina bersiap-siap pergi ke sekolah.
“Bawa payung, Nina. Sebentar lagi hujan turun!” Papa mengingatkan.
“Tak usahlah, pa. Masih keburu. Kalau Nina sudah tiba di sekolah, baru hujannya turun!” tolak Nina enggan.
“Uuuh, repotnya bawa payung. Sampai di jalan raya, aku kan bisa naik angkot. Masak, sih, kehujanan!” kata Nina dalam hati.
Nina segera menyandang tasnya, pamit pada Papa, dan keluar dari rumahnya yang terletak di dalam gang.
Baru saja melewati beberapa rumah, seorang nenek keluar dari sebuah rumah kecil. Pakaiannya sederhana, rok biru dan blus putih. Ia membawa tas besar dan payung. Itulah Oma Ida, tetangga Nina.
“Selamat pagi, Oma!” sapa Nina. “Mau ke mana?”
“Oooh, selamat pagi, Nina. Oma mau ke rumah sakit. Untuk menjemput kenalan yang hari ini sudah diizinkan pulang. Syukurlah! Sudah empat hari Oma menunggui dia tiap malam,” jawab Oma Ida.
Mereka berjalan bersisian. Walaupun usianya sudah lanjut, tinggal sendiri di rumah, namun Oma Ida selalu sibuk. Ada saja orang yang minta bantuannya. Menjagai anak, berbelanja, memasak bila ada pesta, dan sebagainya. Wajahnya memancarkan keteduhan. Ia tak pernah mengeluh, walau hidupnya sangat sederhana. Anak laki-laki satu-satunya sudah menikah dan bekerja di luar kota.
“Sudah mau hujan. Kamu tidak bawa payung?” tanya Oma Ida.
“Payungnya rusak, Oma!” jawab Nina sekenanya, asal menjawab.