Sebuah Kisah Nyata Penyintas Covid-19
Selasa, 15 Desember 2020
Selepas aktivitas Magrib bersama anak-anak, tetiba terdengar  suara dering ponsel Abi. Kulihat dia berbicara dengan seseorang, tapi aku tak bisa mengira dengan siapa Abi berbicara. Tak lama setelah selesai berbicara, Abi sampaikan berita yang  cukup menghentikan napasku sesaat.
"Mi, besok pagi Abi harus swab di Puskesmas Kecamatan Pancoran jam 8. Jadi, Abi ke kantor dulu baru swab," terang Abi sebelum aku sempat bertanya.
"Hmmm...kok Abi tau-tau diminta swab? Puskesmas dapat data  Abi dari mana?" tanyaku penasaran sambil memicingkan mata.
"Tracing, Mi. Ada teman sekantor Abi yang selantai, Â sekarang dia dan keluarganya terkonfirmasi positif, " jelas Abi sambil berlalu meninggalkanku yang masih tergugu.
"As-tag-firu-llah," ucapku terbata.
Seketika kurasakan tubuhku menghangat. Bulu kudukku berdiri. Merinding membayangkannya. Kepalaku berpikir keras. Seingatku, kami cukup menaati semua protokol kesehatan. Mengapa jadi seperti ini? Aku takut? Ya, aku takut. Siapa yang tak takut? Penyakit paling menakutkan di sepanjang tahun ini. Â Penyakit inilah yang menyebabkan dunia lumpuh sesaat. Penyakit yang telah membuat penduduk dunia kehilangan nyawa hanya dalam hitungan detik.
Besok Abi akan menjalani swab karena tracing.  Itu artinya,  Abi pernah kontak erat dengan penderitanya. Selintas bayangan berita-berita yang pernah kubaca dari internet atau kiriman orang-orang di Whatsapp menyemut memenuhi kepalaku. Bahkan, baru-baru ini beberapa rekan guru  berakhir dengan kehilangan nyawa karena tak tertolong saat timbul gejala sesak napas penyakit ini. Ya Allah. Selekas mungkin kutepis bayangan itu jauh-jauh. Hanya ratusan istighfar yang bisa menenangkan suasana hatiku saat ini.
Di tengah ketakutan dan kebingunganku,  aku dan Abi  membuat kesepakatan bahwa  mulai malam ini kami harus tidur dan beraktivitas terpisah. Karena aku perlu berbelanja dan memasak, aku dan anak-anak  hanya beraktivitas di bawah. Untuk isolasi mandiri, Abi akan selalu berada di atas (lantai 2).
* Â Â * Â Â * Â Â
Rabu pagi setelah kembali dari Puskesmas Pancoran, Abi langsung menjalani isolasi mandiri di lantai 2 rumah kami dan statusnya mulai hari ini adalah PDP sampai nanti keluar hasil tes swab. Kuingat-ingat kembali gejala yang Abi alami sebelum datang berita untuk swab. Minggu sore kemarin Abi memang mengatakan kepadaku bahwa dia sakit kepala, badannya terasa meriang, dan seluruh tubuhnya terasa pegal. Abi sempat memintaku memijiti bagian-bagian tubuhnya yang terasa pegal. Selain itu, Abi pun mengeluh bahwa dia  pilek, tenggorokannya sedikit gatal,  dan lambung agak terasa kurang enak sehingga dia terkena sedikit diare.
"Ahhh, mosok iya positif?" Â Elakku dalam hati.
Sorenya ketika aku mengantarkan makanan untuknya dan kuletakkan di ujung tangga,  kutanyakan apakah dia masih bisa mencium bau. Kuberikan minyak wangi dan bawang putih, tapi dia ragu-ragu menjawabnya. Akhirnya, Abi meyakinkanku  bahwa dia tidak bisa mencium bau apa pun.
Deg! Ini kan salah satu ciri khas positif Covid-19. Astagfirullah.
Walau ketakutan menderaku, aku masih terus meminta kepada-Nya agar hasil swab Abi  negatif. Namun, aku juga memikirkan seandainya hasil swab Abi positif, berarti di antara aku dan anak-anak pasti ada yang positif. Ahhh...aku mulai merasa lelah memikirkan hal ini. Berusaha kutepis jauh-jauh pikiran ini.
Selama Abi isolasi mandiri di atas, Â setiap waktunya sarapan pagi, makan siang, dan malam kubawakan makanan dan kuletakkan di ujung tangga. Â Hanya saja, aku merasa bahwa isolasi ini belum sepenuhnya terpisah karena dua anakku masih naik ke kamar mereka masing-masing untuk mengambil baju di lemari kamarnya. Abi pun masih turun ke lantai 1 untuk membantuku mengeluarkan motor saat aku harus berangkat ke sekolah.
Kamis pagi, 17 Desember aku pergi ke sekolah untuk mencetak rapor karena rencananya Senin pekan depan akan dibagikan secara luring. Pagi  hari itu aku ke sekolah dan aku merasa baik-baik saja hingga pekerjaanku selesai. Sepulang dari sekolah, pakaian yang kukenakan tadi langsung kutaruh di keranjang baju kotor dan aku mandi. Namun, dua  jam  sepulang dari sekolah aku mulai merasa badanku sedikit tak karuan. Apalagi saat berwudhu untuk salat Magrib. Tubuhku agak menggigil walau terkena air wudhu yang sedikit itu.
Malam itu, kepalaku terasa sakit sekali. Tetiba hidungku pun terasa tak enak. Meler. Tenggorokan terasa gatal dan suhu tubuhku menghangat. Aku tak berani berspekulasi bahwa aku juga terkena Covid. Kuabaikan lintasan pikiran itu dan istirahat dengan cepat.
* Â Â * Â Â * Â Â
Senin, 21 Desember 2020
Sudah berlembar-lembar tisu habis untuk menyeka butir bening yang selalu mendesak keluar dari mataku. Pun aku tak bisa memejamkan mata sedikit pun semalaman. Â Sia-sia kunyalakan murattal dan musik pengantar tidur. Â Berbagai stigma tentang penyakit menakutkan ini berhasil menguras pikiranku semalaman. Hingga aku bangun dengan sakit kepala mendera.
"Allah, beri aku kekuatan untuk melewati hari-hari sulit ini. Jangan biarkan aku sendiri. Temani aku, ya Rabb, " rintihku di sepertiga malam.
Senin pagi ini aku dan anak-anak  bersiap-siap untuk ke tes swab di Puskesmas Pancoran. Tadi malam abi dihubungi oleh pihak Puskesmas Pancoran yang menyampaikan hasil swab. Ternyata, Abi positif.  Abi diharuskan melakukan tes fisik di Puskesmas Kelurahan Pancoran karena Abi harus dirujuk ke Wisma Atlet sore ini.
Mengenai positif Covid, semalam sudah kusampaikan berita ini kepada adik-adikku karena kami berkontak cukup erat. Anak-anak pun sering bolak-balik ke rumah neneknya. Khawatir anak-anak membawa virus itu ke sana, akhirnya dua adikku, ibu, dan bapakku pun harus mengikuti swab hari ini.
Kami tiba di puskesmas Pancoran pukul 08.10. Di sana masih sepi hanya ada kami yang datang. Petugas sudah ada 2 orang, 1 di bagian pendaftaran dan 1 lagi yang nantinya akan melakukan tes swab. Sebelum ke loket B ini, KTP sudah kami daftarkan di loket A. Kusampaikan kepada Pak Satpam bahwa kami adalah keluarga Ahmad Hasanudin yang terkonfirmasi positif Covid.
Di loket B ini banyak kursi, tapi tak ada kursi yang disilang seperti pada umumnya. Mungkin karena lahan terbatas, supaya bisa menampung banyak orang yang akan swab. Begitu aku datang, kuperkenalkan diri sebagai keluarga Ahmad Hasanudin. Lalu, kami  yang akan diswab hari ini diberi isian/angket yang isinya antara lain, sekarang mengalami gejala apa saja, punya penyakit bawaan atau tidak, lalu apa  hubungan dengan yang terkonfirmasi positif,  pergi ke luar negerikah, lalu selama 14 hari ini berkontak erat dengan siapa saja.
"Ya Allah, aku pinta pada-Mu agar hasil swab kami semua negatif. Tapi Allah, jika di Lauhul Mahfudz Kau telah menuliskan penyakit ini memang untuk keluarga kami, Â aku ikhlas. Apapun hasilnya, berikan yang terbaik Menurut-Mu, ya Allah," bisikku berkali-kali kepada pemilik hidupku.
Ada lara di hati. Berusaha kutahan ribuan butir bening yang membuat mataku hangat. Aku tak ingin menumpahkannya. Â Aku ingin kuat, ya Allah.Â
Tapi, kala kuingat hari ini adalah Ashar terakhir suamiku di rumah sebelum dia dirujuk ke Wisma Atlet, aku semakin tak kuat membayangkannya. Ada banyak lintasan pikiran yang menghantuiku. Akankah hari ini terakhir aku bersamanya? Â Jangan, Allah. Â Kembaliku Abi ke rumah dengan sehat setelah dia dirawat di Wisma Atlet.
Akhirnya, aku tak bisa mencegah butiran bening yang  meluncur sendiri hingga membasahi kerudung dan bajuku. Aku tak sanggup menahannya. Aku hanya ingin melegakan hatiku sementara. Allah, temani aku  melewati ujian ini bersama-Mu.
Siang setelah  menjalani swab, mulai hari ini keluarga kami memulai isolasi mandiri di rumah. Aku tak lagi keluar  rumah, bahkan pun ke rumah nenek. Anak-anak pun aku larang untuk bermain bersama temannnya. Kularang mereka untuk jajan di warung tetangga.  Hal ini kulakukan atas anjuran pemerintah untuk isolasi mandiri di rumah. Cara ini pun kulakukan karena aku menyayangi kerabat, tetangga, dan teman-temanku. Aku  tidak ingin orang lain tertular penyakit ini sebagai langkah paling  tepat menurutku untuk  memutus mata rantai penyebarannya.
Namun, sorenya  kusanggupi ketika Abi memintaku mengantarnya sampai Puskesmas dan berangkat bersama pasien lain dari Puskesmas Pancoran. Aku berusaha menata hatiku. Aku tak ingin lagi menangis. Aku harus kuat agar Abi bisa lebih tenang menjalani isolasi mandiri di sana. Kuyakinkan padanya bahwa aku dan anak-anak akan baik-baik saja.  Aku besarkan hati Abi agar menerima penyakit ini dan berdamai dengan keikhlasan. Kuminta padanya agar tak banyak memikirkan kami di rumah untuk mempercepat kesembuhannya sehingga bisa berkumpul lagi  di rumah.
* Â Â * Â Â * Â Â
Selasa, 22 Desember 2020
Hari ini adalah hari pertama Abi di Wisma Atlet. Hari ini juga adalah hari pertama kami mengisolasi diri di rumah sejak bangun tidur. Alhamdulillah, hari Minggu kemarin kusempatkan berbelanja kebutuhan  makan dan minum. Jadi, untuk 3 hari ke depan masih ada stok makanan di kulkas untuk kami konsumsi. Alhamdulillah lagi, setidaknya  memiliki rumah dekat dengan orang tua itu membuat hati lebih tenang. Mama yang mengirimkan makanan untukku dan anak-anak selama masa isolasi. Aku bisa dengan mudah  meminta tolong pada adik-adik untuk belikan beberapa kebutuhan kami karena kami tak bisa keluar rumah.
Kuajak anak-anak berbicara tentang penyakit ini. Kuminta pada mereka untuk memahami bahwa mereka tidak boleh bertemu dengan orang tanpa memakai masker walaupun berada di dalam rumah. Kuyakinkan pada mereka agar bisa bermain bersama tanpa keributan. Bersyukur, mereka memahami apa yang kuminta.
Kuamati ketiga anakku, tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkkan gejala tertular Covid dari Abi. Mereka terlihat sehat dan riang. Sedangkan aku? Aku meyakini diriku sudah terpapar virus ini sejak Kamis malam pekan lalu.
Aku mengalami sedikit demam, sakit kepala, hidung berair, tenggorokan kering, dan seluruh tubuhku terasa lemas hingga hari ini. Hanya satu hal yang ingin kulakukan, yaitu tidur-tiduran saja di Kasur karena seluruh tubuhku terasa  pegal. Apalagi, ketika aku coba menghirup aroma minyak kayu putih, bawang putih, dan minyak wangi yang  tak lagi terasa, hatiku makin yakin.
"Ampuni aku, Allah. Maafkan kesalahan-kesalahanku. Aku tahu,  Kauberikan penyakit ini kepadaku dan keluargaku karena Kauingin aku bisa beribadah dengan baik lagi. Kauingin Hanya kepada-Mu aku berharap segala hidup dan matiku. Kauingin  hanya ada Kau yang menyelimuti pikiranku saat ini. Allah, bukankah penyakit yang Kauberikan ini bisa menggugurkan dosa-dosaku jika aku ikhlas? Aku ikhlas, ya Allah, " desirku ketika menyapa-Nya saat Dhuha.
"Allah, aku mohon. Jika mungkin, ada ibadah dan amal rahasiaku dengan-Mu, ada  kebaikan yang pernah kulakukan,  dan  sedekah yang pernah kuberikan hanya karena-Mu, ini  bisa meringankan gejala penyakit yang  keluarga kami derita, bantu dan tolonglah kami, ya Allah. Ringankan gejala yang kami rasa. Selamatkan keluarga kami dari penyakit mengerikan ini,  ya Allah. Izinkan kami bisa menghirup sehat setelah kami melewati ujian ini, ya Allah, "tangisku pecah tak tertahan. Â
Aku berusaha tetap riang di hadapan anak-anak. Namun, meskipun  aku berusaha menenangkan hati, aku tetaplah manusia yang memiliki rasa takut. Kecemasan mendera. Aku tahu, aku tak boleh larut dalam kecemasan. Karena ternyata, semakin aku cemas, semakin aku merasa kepalaku seperti tercengkeram. Aku  merasakan detak jantungku lebih cepat. Aku makin merasa lemah. Padahal, aku harus kuat bersama anak-anak di rumah.
Akhirnya, pelan-pelan kucoba membuang semua rasa  ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran. Ada anak-anak yang harus kuperhatikan. Aku harus memiliki imun yang baik untuk membantu memulihkan kesehatanku dengan cepat.  Setiap pagi kuajak anak-anak untuk senam bersama. Berjemur di teras atas. Meminta anak-anak menyiram tanaman. Kami pun tetap beribadah  bersama dengan salat berjamaah, mengaji pada waktu Magrib, dan membaca Almatsurat bersama.
Selama menjalani isolasi di rumah, banyak hal yang terjadi selalu saja membuatku terharu. Selalu saja ada butiran bening membahasahi pipiku karena indahnya Dia mengatur alur kehidupanku.
Salah satu yang membuatku terharu, aku jadi merasa kuat karena selalu saja setiap hari ada pesan yang masuk ke Whatsappku. Pesan-pesan dari kerabat, sahabat, dan teman-teman yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Pesan-pesan itu adalah pesan-pesan  cinta yang berisi doa dan perhatian  yang sangat menguatkanku bahwa aku tak sendiri. Ada puluhan doa dari mereka yang dapat mengetuk langit-Nya  sehingga aku hanya menyerahkan diriku sepenuhnya kepada sang Pengabul Doa.
Satu hal lain lagi yang membuatku terharu.  Walau aku hanya memberikan kabar mengenai kondisi keluargaku hanya kepada orang-orang terdekat,  sejak Selasa siang berdatangan kiriman obat-obatan, vitamin, dan makanan dari  kerabat, sahabat, tetangga, dan teman-teman Abi juga teman-temanku. Kiriman itu selalu mampir di gerbang rumah kecilku.
Untuk obat-obatan, ada yang mengirimkan qisthul hindi, vitamin C (enervon C, Imboost, dan Vitalong C), madu berbagai jenis, Nu pro 8, Â obat Cina Lianhua Qingwen, Extrafood, susu kambing Etawa, minyak kayu putih, betadine kumur, minyak eucalyptus.
Untuk makanan, ada yang mengirimkan makanan siap saji, nasi padang, kue bolu, biskuit, makan siap olah, dan buah-buahan. Untuk minuman, ada yang mengirimkan susu ultra milk sekarton besar, susu kedelai, dan  beberapa botol jus buah.
Alhamdulillah, Â apa pun yang dikirimkan kepadaku, berusaha kukonsumsi dengan baik dengan diberi jarak waktu. Pintaku pada-Nya saat itu, "Ya Allah, jadikan apa pun yang aku dan anak-anak makan dan minum itu sebagai obat."
* Â Â * Â Â * Â Â
Kamis, 24 Desember 2020
Walau aku merasa yakin sudah terpapar virus mematikan ini, aku masih membutuhkan hasil swab yang tempo hari kami lakukan. Pagi tadi kutanyakan pada dokter yang menangani keluarga kami di Puskesmas Pancoran, tetapi jawabannya belum ada.
Sekitar pukul 19.30 ada pesan masuk ke whatsapp-ku.Â
"Assalamualaikum, Bu. Saya ingin mengirimkan hasil swab ibu dan anak-anak."
"Baik, Dok. Saya tunggu."
Berdebar. Napas memburu. Detak jantung terasa lebih cepat dari biasanya. Sama sekali aku tak berminat membuka pesan yang lain. Perhatianku tertuju pada pesan dari dokter saja.
Kutunggu hampir 5 menit belum juga ada balasan hasil swab kami. puluhan kali istighfar meluncur dari bibirku, belum juga mampu meredakan kecemasanku. Kuletakkan gawai di sampingku dan kututup aplikasi whatsapp.Â
Beberapa menit kemudian, gawaiku bergetar beberapa kali. Tak bisa menunggu lama, langsung kubuka pesan dari dokter. Ternyata, dia kirimkan file .pdf berisi hasil swab kami. Ada 4 file yang dikirimkan: hasil swabku dan ketiga anakku.
Langsung aku buka file yang dikirimkan. File atas namaku yang kubuka pertama kali. Sebelum kulanjutkan, kutarik napas panjang dan kuhempaskan jauh.
Bismillah, kubaca hati-hati hasilnya. Dan...
Ya Allah, aku tak bisa mencegah butiran bening itu tumpah lagi  untuk kesekian kalinya. Biarlah. Agar hatiku merasa  lebih lega. Karena dengan menangis, aku merasa mendapatkan kekuatan untuk memikirkan langkah apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
"Terima kasih, Allah. Kau menegur segala kesalahan dan kekhilafanku melalui penyakit ini. Bantu aku melewati hari-hari sulit di depan sana. Bantu aku sesuai janji-Mu. Kau tak akan memberikan ujian dan cobaan ini  jika Kautahu aku tak mampu menghadapinya, " doaku jauh di dasar hatiku.
Malam ini kuatur tempat untuk anak-anak tidur. Mereka tak boleh tidur  bersama. Abang  mulai malam ini tak lagi tidur dengan Argan. Abang tidur sendiri di kamarnya. Aku tidur di depan. Si Kakak dan Argan tidur di kamar kakak karena hasil swab mereka berdua negatif.
Malam itu, kembali mataku sulit untuk  terpejam. Walau aku tahu hal ini akan menurunkan imunku dan tidak baik untuk kesehatan, dalam praktiknya sulit sekali untuk tidak memikirkan penyakit ini.  Hingga akhirnya  aku bisa  pulas sejenak.
Tiba-tiba aku terbangun di tengah malam dengan napas memburu. Bajuku basah oleh keringat. Sedikit menggigil. Pelan kusandarkan tubuhkku di tembok. Napasku  masih tersengal. Ya Allah, apakah malam ini adalah akhir dari hidupku? Tak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada aku dan anak-anak. Padahal, aku ingin ditemani Abi. Aku ingin minta maaf dulu kepadanya, kepada Baba dan Nenek. Aku tak ingin dimakamkan jauh dan tak diantar. Tangisku pecah dalam keheningan. Astagfirullah.
Aku takut ya, Allah. Hanya nama-Mu yang ingin kusebut  menjelang kepergianku, ya Allah.
Dalam kepanikanku, sempat kutengok jam. Ternyata  baru pukul 02.45 WIB. Pagi masih jauh. Lalu, aku berpikir. Mungkin Allah masih memberikan kesempatan untukku bersujud dan meminta kepada-Nya. Pelan kutarik napas hingga  terasa normal kembali. Kuraba jantungku, detaknya hampir seperti biasa. Kutarik napas perlahan, kubuang perlahan.  Akhirnya, aku bangun dan berwudhu. Keadaanku kini sudah normal kembali.
Hingga Subuh, kuhabiskan waktu untuk mengingat-Nya. Kupinta apapun yang terbaik dari-Nya.
Pagi itu, pukul 05.30 anak-anak sudah bangun. Kuhubungi adikku untuk segera menjemput si Kakak dan Argan. Mereka berdua kupindahkan ke rumah nenek agar tak terpapar virus dari aku dan si Abang. Jalan inilah yang kutempuh setelah semalaman berpikir baik dan buruknya. Semoga Allah jaga Baba dan Nenek agar tak terpapar virus ini walau sebenarnya ada sedikit ketakutan dan kecemasanku. Namun, semakin aku memikirkan hal yang buruk akan menimpa mereka, semakin pula kekuatan langit akan mewujudkan apa  yang kupikirkan itu. Jadi, aku berusaha memikirkan banyak hal yang indah  setelah kami melewati ujian penyakit ini agar kekuatan langit dapat mewujudkan hal indah tersebut.
Ya. Aku harus banyak berprasangka baik kepada-Nya.
* Â Â * Â Â * Â Â
Jumat, 1 Januari 2021
Tak terasa hari telah berganti tahun. Banyak yang telah dilewati selama setahun kemarin. Semoga Allah perkenankan tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.
Hari ini adalah hari terakhirku melakukan isolasi mandiri. Hari Senin yang akan datang, aku dan si Abang akan melakukan swab kembali. Semoga virus itu telah hilang dari tubuh kami.
Hari ini pula keluarga kami sudah bisa berkumpul kembali. Abi sudah kembali dari Wisma Atlet. Kemarin dia sudah melakukan swab ulang dan Alhamdulillah hasilnya negatif.
Namun dua hari yang lalu, dokter mengabarkan bahwa mama  ternyata positif Covid. Kupinta yang sama kepada-Nya agar Allah ringankan gejala penyakit ini pada Mama. Alhamdulillah, Mama terlihat sehat dan hanya merasakan gejala tenggorokan kering.
Bersyukur hanya kepada-Mu, Rabb. Kami bisa melewati ujian ini dengan baik.
* Â Â * Â Â * Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H