"Allah, beri aku kekuatan untuk melewati hari-hari sulit ini. Jangan biarkan aku sendiri. Temani aku, ya Rabb, " rintihku di sepertiga malam.
Senin pagi ini aku dan anak-anak  bersiap-siap untuk ke tes swab di Puskesmas Pancoran. Tadi malam abi dihubungi oleh pihak Puskesmas Pancoran yang menyampaikan hasil swab. Ternyata, Abi positif.  Abi diharuskan melakukan tes fisik di Puskesmas Kelurahan Pancoran karena Abi harus dirujuk ke Wisma Atlet sore ini.
Mengenai positif Covid, semalam sudah kusampaikan berita ini kepada adik-adikku karena kami berkontak cukup erat. Anak-anak pun sering bolak-balik ke rumah neneknya. Khawatir anak-anak membawa virus itu ke sana, akhirnya dua adikku, ibu, dan bapakku pun harus mengikuti swab hari ini.
Kami tiba di puskesmas Pancoran pukul 08.10. Di sana masih sepi hanya ada kami yang datang. Petugas sudah ada 2 orang, 1 di bagian pendaftaran dan 1 lagi yang nantinya akan melakukan tes swab. Sebelum ke loket B ini, KTP sudah kami daftarkan di loket A. Kusampaikan kepada Pak Satpam bahwa kami adalah keluarga Ahmad Hasanudin yang terkonfirmasi positif Covid.
Di loket B ini banyak kursi, tapi tak ada kursi yang disilang seperti pada umumnya. Mungkin karena lahan terbatas, supaya bisa menampung banyak orang yang akan swab. Begitu aku datang, kuperkenalkan diri sebagai keluarga Ahmad Hasanudin. Lalu, kami  yang akan diswab hari ini diberi isian/angket yang isinya antara lain, sekarang mengalami gejala apa saja, punya penyakit bawaan atau tidak, lalu apa  hubungan dengan yang terkonfirmasi positif,  pergi ke luar negerikah, lalu selama 14 hari ini berkontak erat dengan siapa saja.
"Ya Allah, aku pinta pada-Mu agar hasil swab kami semua negatif. Tapi Allah, jika di Lauhul Mahfudz Kau telah menuliskan penyakit ini memang untuk keluarga kami, Â aku ikhlas. Apapun hasilnya, berikan yang terbaik Menurut-Mu, ya Allah," bisikku berkali-kali kepada pemilik hidupku.
Ada lara di hati. Berusaha kutahan ribuan butir bening yang membuat mataku hangat. Aku tak ingin menumpahkannya. Â Aku ingin kuat, ya Allah.Â
Tapi, kala kuingat hari ini adalah Ashar terakhir suamiku di rumah sebelum dia dirujuk ke Wisma Atlet, aku semakin tak kuat membayangkannya. Ada banyak lintasan pikiran yang menghantuiku. Akankah hari ini terakhir aku bersamanya? Â Jangan, Allah. Â Kembaliku Abi ke rumah dengan sehat setelah dia dirawat di Wisma Atlet.
Akhirnya, aku tak bisa mencegah butiran bening yang  meluncur sendiri hingga membasahi kerudung dan bajuku. Aku tak sanggup menahannya. Aku hanya ingin melegakan hatiku sementara. Allah, temani aku  melewati ujian ini bersama-Mu.
Siang setelah  menjalani swab, mulai hari ini keluarga kami memulai isolasi mandiri di rumah. Aku tak lagi keluar  rumah, bahkan pun ke rumah nenek. Anak-anak pun aku larang untuk bermain bersama temannnya. Kularang mereka untuk jajan di warung tetangga.  Hal ini kulakukan atas anjuran pemerintah untuk isolasi mandiri di rumah. Cara ini pun kulakukan karena aku menyayangi kerabat, tetangga, dan teman-temanku. Aku  tidak ingin orang lain tertular penyakit ini sebagai langkah paling  tepat menurutku untuk  memutus mata rantai penyebarannya.
Namun, sorenya  kusanggupi ketika Abi memintaku mengantarnya sampai Puskesmas dan berangkat bersama pasien lain dari Puskesmas Pancoran. Aku berusaha menata hatiku. Aku tak ingin lagi menangis. Aku harus kuat agar Abi bisa lebih tenang menjalani isolasi mandiri di sana. Kuyakinkan padanya bahwa aku dan anak-anak akan baik-baik saja.  Aku besarkan hati Abi agar menerima penyakit ini dan berdamai dengan keikhlasan. Kuminta padanya agar tak banyak memikirkan kami di rumah untuk mempercepat kesembuhannya sehingga bisa berkumpul lagi  di rumah.