Mohon tunggu...
.terang
.terang Mohon Tunggu... Lainnya - All you can read

Ketika kata jatuh ke mata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersujud pada Tahi Ayam

22 Oktober 2023   21:06 Diperbarui: 22 Oktober 2023   21:16 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jamal bukannya menaruh bangga pada kegiatan konserpasif tersebut, justru kecewa pangkat tiga, di sini menanam, sementara di hutan yang menjadi penyerap karbon terbaik di tempatnya malah dibantai atas nama pembangunan. Mata Jamal terus mengarah ke sana, hingga angkot berhasil melewati kemacetan yang diciptakan kegiatan tersebut.

***

Pagi menjelang siang, Jamal dan keluarga tiba di kediaman sepupunya yang perempuan. Rumahnya tidak luas, namun halamannya yang luas dan berpasir memiliki sebaran pohon kelapa yang tumbuh tidak beraturan, kondisi rumah disini hampir begitu semuanya. Ada kebiasaan unik terkait jual-beli lahan di sini. Jika ada pembeli, terlebih dulu dihitung jumlah pohon kelapanya, karena harga tanah terpisah dengan harga pohon kelapa. Harga tanah ditentukan berdasarkan luasnya, sedangkan harga pohon ditentukan dari seberapa lama masa tumbuhnya. Semakin lama pohon tersebut tumbuh maka semakin besar pula harganya, otomatis harga lahan juga akan semakin meningkat.

Lama tidak berjumpa membuat mereka saling sapa dan menanyakan kabar masing-masing. Jamal dan keluarganya disuguhkan teh dan kue berisi abon ayam oleh pemilik rumah. Setelah menyogok lambung, Jamal dan keluarga langsung mengambil peran masing-masing. Istri dan anak perempuannya bertugas di belakang, alias dapur. Jamal memperoleh jatah di bagian depan, meliputi ruang tamu dan teras. Agar ruang tamu tampak luas, Jamal mengeluarkan kursi, meja, dan benda-benda yang merusak pandangan dari dalam. Sedang anak laki-lakinya yang bungsu memilih bermain dengan anak-anak seusianya di pekarangan samping.

Melihat kaca jendela yang kurang kinclong, hati Jamal tergerak untuk membersihkannya. Ia cari koran bekas untuk pengelap kaca yang nantinya dipercikkan air terlebih dahulu. Lewat arahan suami sepupunya yang suka membeli koran saat melintas di lampu merah, Jamal menemukan yang dicari di bawah televisi, ia ambil satu bundel secara sembarang dari timbunannya. 

Jamal lupa kapan terakhir kali membaca koran, setelah sekian lama ia melakukannya kembali, koran yang berada di tangannya sekarang memang diterbitkan beberapa bulan yang lalu. Headline koran membuatnya penasaran bercampur jijik, ia selami lebih dalam lautan kata-kata yang memberitakan kegiatan penanaman pohon bakau. Dada Jamal semakin sesak saat mengetahui kegiatan pura-pura konservasi (konserpasif) tersebut terselenggara karena kepala negara sedang berkunjung ke mari, parahnya mereka melakukan penanaman simbolis di area mangrove yang sedang baik-baik saja, sekarang mungkin masih, tidak tahu nanti, sebab grafik peningkatan ketamakan manusia mengikuti deret ukur, bukan deret hitung. Kebingungan terbesar Jamal lainnya adalah kealfaan media dalam memberitakan pengrusakan mangrove di tempat tinggalnya, sepertinya mereka lebih gemar memberitkan romantisme para penguasa, ketimbang skandalnya.

Jamal benar-benar heran dengan kemauan pemerintah, mereka itu pelayan rakyat, bukan pemain film, kenapa sangat gemar bersandiwara? Pura-pura menanam seakan-akan peduli dengan lingkungan, namun perusaknya mereka juga. Kini ia sadar arti dari pemberian sembako beberapa waktu lalu, bahkan yang sudah-sudah. Jamal memang tidak berlajar ilmu statistik, kini ia mampu membaca pola bahwa pemberian sembako punya korelasi dengan penebangan hutan mangrove. Ia menyimpulkan kalau itu adalah upaya pembungkaman agar nelayan tutup mulut dan tidak banyak bicara saat sumber penghidupannya dirusak, sebegitu murahkah harga diri rakyat? Hanya dinilai dengan sebatas sembako dan amplop.

Buah kelapa yang jatuh tanpa cinta, menyadarkan Jamal dari lamunannya, hingga ayam-ayam yang sedang mengais-ngais pasir, berhamburan ke segala penjuru. Seekor ayam yang mampir ke teras, mengucurkan kotorannya ke lantai. Melihat hal itu ia tidak kecewa, kekecewaannya lebih membuncah pada penguasa dan rencana kotornya. Spontan, koran di tangannya, ia gunakan untuk manyapu kotoran ayam. Alhasil wajah kepala negara dan kepala daerah pada koran menaruh sujud pada tahi ayam. Jamal tidak bermaksud melecehkan, sepertinya takdir sudah menyuratkan kotoran bertemu dengan foto pembuat rencana kotor.

Penulis: Taring

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun