"Ini menyangkut nama baik saya di hadapan nelayan pak, saya pernah berjanji akan mensejahterakan mereka saat berkampanye, apa belum cukup bapak mereklamasi mangrove untuk tempat wisata dan perumahan di masa kepala daerah sebelumnya?" ucap Budi.
      "Di era globalisasi seperti ini, kamu masih mementingkan nama baik? Untuk apa nama baik kalau keuangan buruk?"
      "Hmmm."
      "Kamu lupa ya? kamu bisa sampai ke posisi ini juga berkat sokongan dari saya! Asupan untuk kelancaran money politic kamu dari mana?" Ucap Tanto dengan ekspresi melebarkan mata sipitnya.
      "Selalu saja itu yang bapak ungkit jika ada maunya, bapak juga lupa? kalau saya selalu mempermudah izin usaha bapak mulai dari perusahaan besar hingga anak-anak perusahaan bapak?" balas Budi sambil mengunyah makanan yang membuat kumisnya bergerak tidak karuan.
      "Hidup itu simbiosis mutualisme Di, kalau kamu lancarkan urusan saya, saya beri kamu rumah gratis di sana, atau mau 'mentah'-nya? nelayan itu perkara gampang, berikan saja amplop dan paket sembako, dengan begitu mereka sudah merasa sangat dipedulikan oleh pemerintah."
      "Bapak tahu kan kalau mangrove yang mau dikonversi menjadi perumahan itu hutan lindung?"
      "Saya tidak mau tahu urusan remeh-temeh seperti itu. Di dunia bisnis, jika ada peluang dan menjanjikan keuntungan besar, apa saja bisa dilakukan. Kalau pun itu hutan lindung, ganti saja statusnya, lalu urus perizinannya, gampangkan?"
      "Bapak seenaknya bilang gampang, ujung-ujungnya saya juga yang mengurus."
      "Benar, itu lah tujuan saya mengundang kamu makan siang di sini. Tolong urus segala sesuatunya dengan kolega-kolegamu itu. Dengar Di, target saya bukan orang lokal, tapi WNA, termasuk mereka yang memelihara istri-istri simpanannya di sini. Jadi mau rumah apa mentahnya?"
      "Rumah saja, saya minta tiga, untuk saya bersama istri, dan anak-anak saya."