Mohon tunggu...
.terang
.terang Mohon Tunggu... Lainnya - All you can read

Ketika kata jatuh ke mata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersujud pada Tahi Ayam

22 Oktober 2023   21:06 Diperbarui: 22 Oktober 2023   21:16 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Tidak semua Budi berakal budi dan berbudi baik, contohnya Budi yang satu ini, baginya mengurus perizinan alih fungsi lahan tidak perlu berlama-lama seperti praktik birokrasi untuk rakyat yang tidak beruang, cukup dengan mengedipkan mata, semuanya akan beres, secara dia penguasa, meski bukan penguasa alam semesta.

Tinggal menunggu waktunya tiba, mangrove yang statusnya hutan lindung akan berubah menjadi hutan yang tak terlindungi. Yakinlah! negara kediaman Budi kelak akan menjadi negara maju, terbukti dari garis pantainya yang setiap tahun semakin maju berkat gagasan dan ide-ide 'kreatif' para tokoh reklamator.

***

            Kedatangan angin kencang membuat Jamal dan beberapa tetangga yang seprofesi dengan nya libur melaut hari ini. Di hari libur justru Jamal disibukkan oleh kerjaan baru, ia sedang asyik menonton televisi harus bolak-balik keluar rumah untuk membenarkan posisi antena televisi yang suka berubah haluan, kadang ke Timur, kadang ke Barat.

Meski bosan mengkonsumsi berita persidangan petinggi polisi yang menembak mati bawahannya karena episodenya 'ratusan' seperti lapisan wafer tengo, tetap saja Jamal penasaran akan story ending-nya. Kekhusyukannya menikmati alur berita terbuyarkan saat ada yang menyapanya dari luar rumah.

            Tempat tinggal Jamal tergolong kawasan padat penduduk, masyarakat yang tinggal di sini adalah mereka yang dulunya memiliki rumah panggung di atas laut. Kemajuan daerah yang terus melaju tanpa henti membuat mereka harus pindah ke area relokasi, karena lahan yang mereka diami sebelumnya direklamasi atas nama pembangunan.

Bukan ganti untung yang didapat, melainkan ganti rugi, meski sudah diganti tetap saja merugi. Uang ganti rugi yang diperoleh, mereka belikan untuk keperluan membangun rumah yang seadanya, bagi mereka yang ingin meneruskan profesi sebagai nelayan, sisanya dialokasikan untuk kebutuhan melaut.

            Tidak semua tetangga Jamal melanjutkan peran sebagai nelayan terakhir di negaranya yang maritim, hanya 30 % dari mereka yang bertahan, 70 % lagi beralih profesi menjadi pedagang, pengojek, dan kuli kasar. Tidak semua penerima ganti rugi ikut tinggal satu koloni bersama Jamal di lahan yang jaraknya beberapa ratus meter dari bibir pantai, sebagian kecil ada yang bekerja menjadi buruh industri dengan mengontrak di Rusun (Rumah Susun), bahkan ada juga yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan, meski hanya sebagai pekerja kelas keset kaki dan hidup mengontrak di sekitaran pusat kota, mereka merasa cukuplah 'Nenek moyangku seorang pelaut'.

Kembali kepada sosok yang menyapa dari luar pintu, mereka merupakan utusan, karena tidak bersayap, pastinya bukan dari kayangan. Mereka tersenyum seperti ada maunya, kira-kira apa yang mereka harapkan dari nelayan seperti Jamal? Ternyata mereka mau menyalurkan uang santunan dan paket sembako.

Sebagai rakyat yang dianggap kecil oleh orang-orang besar, sudah takdir Jamal dan tetangganya menjadi TPS (Tempat Penyaluran Sembako). Gara-gara sering dibagikan sembako, Jamal mulai berbakat dalam meramal masa depan. Sepengetahuannya, secara umum ada dua hal yang akan terjadi jika penyalur sembako sudah turun ke lapangan.

Pertama, tanda Pemalu (Pemilihan Manusia Lucu) sudah dekat, biasanya ada pejabat yang ingin dipilih lagi atau ada kandidat baru yang mulai haus kekuasaan. Baginya semua partai sama saja, sama-sama mengatasnamakan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi. Tidak terhitung sudah berapa banyak kaos partai yang menghampiri Jamal,  lewat kecerdasannya menerapkan konsep reuse, ada yang berakhir jadi keset kaki, ada pula yang jadi kain pengelap di sampannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun