Penghuni di balik tembok tidak tahu dan tidak pernah mau tahu akan rasa iba yang melanda Jamal, mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada anak balita sedang menonton youtube di teras rumah lewat arahan orang tuanya yang baru saja membelikannya tablet sebagai hadiah ulang tahun. Ada juga warga negara asing yang sibuk bercinta dari pagi hingga sore bersama wanita simpanannya, karena besok ia harus kembali ke negara kediamannya. Sementara di tempat wisata tepi pantai, berpasang-pasang remaja yang sedang dimabuk asmara hanya menganggap Jamal buih di lautan, masing-masing pasangan pra halal tersebut beranggapan kalau dunia ini hanya milik mereka, yang lain numpang.
***
Sore menanti kedatangan malam, berganti peran menjadi tabir langit, sebuah sampan kayu baru saja menepi di lahan yang desas-desusnya akan dibangun simbol kemegahan kota. Untuk kesekian kalinya, Jamal menapakkan kaki di garis pantai yang semakin hari semakin keruh, sekeruh kelakuan para penguasa dan kondisi ekonomi di negaranya.
Sampai detik ini, ia belum mampu menjawab pertanyaan apakah masa depannya akan semakin keruh? Seperti laut yang di hadapannya sekarang, atau semakin cerah? Seperti wajah-wajah selebgram yang banyak bertahta di Medsos (Media Sosial). Suatu kepastian bagi Jamal bahwa laut telah banyak menghidupi keluarganya dari generasi terdahulu hingga saat ini.
      Selaku orang yang merangkap jabatan, Jamal tidak kunjung memperoleh kenaikan upah, tidak terbesit di benaknya untuk menuntut, jika iya, kepada siapa ia harus mengalamatkannya? Ia sadar, tuhan tidak pantas dituntut. Sudah banyak yang tuhan berikan secara cuma-cuma, oksigen yang sedang dihirupnya, hingga hasil tangkapan yang akan bermuara ke dapurnya, lalu disantap bersama istri dan anaknya. Dulu hasil tangkapan Jamal sering mampir ke dapur-dapur orang lain, kini sudah jarang terjadi, ia hanya bisa bernostalgia saat hasil tangkapannya masih di atas rata-rata.
Jangan coba-coba untuk menyarankan Jamal agar menuntut kepada perwakilan rakyat. Ia sudah sangat hafal, mereka yang suka duduk di kursi empuk sana adalah barisan pengumbar janji juga suka mengingkari janjinya sendiri. Mendengar tuntutan pemuda beralmamater merah, kuning, hijau, hingga biru saja mereka menutup telinga dan mempertahankan kepongahannya, apalagi mendengar suara hati nelayan tradisional yang tidak pernah kuliah jurusan kelautan dan perikanan sepertinya.
      Sebagai nelayan yang banyak maral melintang, Jamal juga merangkap sebagai seorang 'pengamat', bukan pengamat politik, hanya pengamat ekosistem laut, karena ia hanya lulusan sekolah rendahan yang tinggi iman. Ia bukan sekadar pengamat yang umumnya enggan terjun ke lapangan, seandainya laut bisa berbicara mungkin perkataan yang terlontar adalah "Jiwa dan raga Jamal telah menyatu denganku." Sejak kapan? Jauh sebelum pantai yang dulunya ditumbuhi bakau belum ditanami beton.
      Jamal berpacu dengan waktu maghrib, sampan segera ditambatkan ke tiang kayu. Dua puluh lima yang tahun lalu, setelah menyandarkan sampan, Jamal bisa langsung melangkah ke pintu, kala itu naungannya masih berupa rumah panggung yang berdiri di zona litoral (daerah pasang surut). Zaman berganti, ia harus berjalan beberapa ratus meter menuju kediamannya saat ini, melewati perumahan mewah yang membenamkan rumahnya ke dalam kenangan.
***
      Pada jam makan siang, di sebuah restoran milik hotel termewah, tengah berlangsung perbincangan tingkat tinggi yang tidak dimengerti masyarakat kelas bawah, sebut saja konspirasi. Bukan hanya level perbincangannya yang tinggi, posisi lantai yang tinggi membuat laut tampak jelas dari sini.
      "Jadi bisa kan Di?" tanya Tanto yang merupakan pengusaha tajir di bidang developer sekali lagi.