Indonesia telah mengekspor gas alam ke berbagai negara, dengan tujuan utama pada tahun 2023 sebagai berikut:
- Singapura: 4,04 juta ton (26% dari total ekspor), senilai US$2,25 miliar.
- China: 4,03 juta ton, senilai US$2,4 miliar.
- Korea Selatan: 2,92 juta ton, senilai US$1,44 miliar.
- Jepang: 2,66 juta ton, senilai US$1,73 miliar.
- Thailand: 453 ribu ton, senilai US$256,2 juta.
Total volume ekspor gas alam Indonesia pada tahun 2023 mencapai 15,49 juta ton dengan nilai US$8,77 miliar.Â
Dampak jika ekspor gas alam dihentikan dan dialihkan untuk kebutuhan domestik:
-
Program Hilirisasi:
- Peningkatan Nilai Tambah: Menggunakan gas alam sebagai bahan baku industri dalam negeri dapat meningkatkan nilai tambah produk dan mendorong pertumbuhan industri hilir.
- Pengembangan Industri: Ketersediaan gas alam domestik yang lebih besar dapat mendorong pengembangan industri petrokimia, pupuk, dan lainnya.
Kemandirian Energi:
- Pengurangan Ketergantungan Impor: Dengan memprioritaskan gas alam untuk kebutuhan domestik, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor energi, khususnya LPG.
- Stabilitas Pasokan Energi: Memastikan pasokan gas alam yang stabil untuk kebutuhan dalam negeri dapat meningkatkan ketahanan energi nasional.
Ketahanan Pangan:
- Produksi Pupuk: Gas alam merupakan bahan baku utama dalam produksi pupuk. Dengan memastikan pasokan gas untuk industri pupuk domestik, produksi pertanian dapat ditingkatkan, mendukung ketahanan pangan nasional.
Pertimbangan Lain:
- Pendapatan Negara: Menghentikan ekspor gas alam dapat mengurangi pendapatan negara dari devisa ekspor.
- Hubungan Internasional: Penghentian ekspor dapat mempengaruhi hubungan dagang dengan negara-negara pengimpor utama.
- Investasi Infrastruktur: Diperlukan investasi dalam infrastruktur untuk mendukung peningkatan konsumsi gas domestik dan pengembangan industri hilir.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk meningkatkan produksi LPG domestik guna mengurangi ketergantungan pada impor dan mencapai swasembada energi.Â
Keputusan untuk menghentikan ekspor gas alam memerlukan pertimbangan matang, termasuk analisis dampak ekonomi, sosial, dan politik, serta kesiapan infrastruktur dan industri dalam negeri.
Jika kesiapan infrastruktur dan industri dalam negeri sudah memadai, maka penghentian ekspor gas alam dan fokus pada kebutuhan domestik akan memberikan dampak ekonomi, sosial, dan politik sebagai berikut:
1. Dampak Ekonomi
a. Penguatan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah
- Dengan gas alam digunakan untuk industri dalam negeri, sektor seperti petrokimia, pupuk, baja, dan manufaktur lainnya akan berkembang pesat.
- Produk dengan nilai tambah tinggi seperti amonia, metanol, dan bahan kimia lainnya akan lebih banyak dihasilkan, meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.
- Bisa menciptakan efek multiplier economy, di mana sektor terkait seperti logistik, jasa, dan tenaga kerja juga ikut berkembang.
b. Stabilitas Energi dan Pengurangan Impor
- Mengurangi impor LPG dan bahan baku energi lainnya, sehingga memperbaiki neraca perdagangan Indonesia.
- Harga energi domestik bisa lebih stabil karena tidak bergantung pada fluktuasi harga global.
- Memacu swasembada energi, mengurangi ketergantungan terhadap negara lain.
c. Investasi dan Lapangan Kerja Baru
- Industri hilir berbasis gas akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, menciptakan jutaan lapangan kerja baru.
- Investasi dalam pembangunan infrastruktur seperti pipa gas, terminal LNG, dan fasilitas pemrosesan akan meningkat.
d. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Alam
- Dengan optimalisasi gas di dalam negeri, sumber daya energi bisa dikelola untuk jangka panjang, menghindari eksploitasi berlebihan dan menjaga ketahanan energi nasional.
2. Dampak Sosial
a. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
- Dengan industri dalam negeri berkembang, pendapatan masyarakat meningkat melalui penciptaan lapangan kerja dan peluang usaha baru.
- Harga pupuk yang lebih murah dari bahan baku gas domestik akan berdampak pada harga pangan yang lebih terjangkau.
- Akses ke energi yang lebih murah dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama di daerah terpencil.
b. Pengurangan Ketimpangan Wilayah
- Jika distribusi gas merata, maka industri dan pusat ekonomi tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.
- Pembangunan infrastruktur energi akan merangsang pertumbuhan daerah dan mengurangi kesenjangan antara desa dan kota.
c. Ketahanan Pangan dan Pertanian Lebih Produktif
- Pasokan gas yang cukup untuk industri pupuk akan membuat harga pupuk lebih terjangkau, meningkatkan produksi pertanian dan ketahanan pangan.
- Sektor pertanian dan peternakan juga akan lebih efisien karena biaya produksi lebih rendah.
3. Dampak Politik
a. Kemandirian dan Ketahanan Nasional
- Dengan tidak bergantung pada energi luar negeri, Indonesia menjadi lebih mandiri dan tidak mudah terpengaruh oleh kebijakan energi global.
- Keputusan politik dan ekonomi lebih bebas tanpa tekanan dari negara importir gas.
b. Peningkatan Bargaining Position Indonesia
- Jika suatu saat Indonesia tetap ingin mengekspor gas dalam skala terbatas, posisi tawar Indonesia menjadi lebih kuat karena memiliki pasar domestik yang sudah mandiri.
- Negara-negara yang sebelumnya bergantung pada gas Indonesia bisa bernegosiasi ulang dengan harga lebih kompetitif atau bahkan berinvestasi langsung di Indonesia.
c. Dampak Geopolitik
- Negara-negara importir seperti Jepang, Korea Selatan, dan China mungkin akan mencari sumber gas lain seperti dari Australia, Qatar, atau Rusia.
- Bisa muncul tekanan diplomatik dari negara yang bergantung pada gas Indonesia, tetapi jika industri dalam negeri sudah kuat, Indonesia dapat lebih percaya diri menghadapi tekanan tersebut.
d. Pengaruh Terhadap Stabilitas Sosial
- Jika transisi dari ekspor ke konsumsi domestik dilakukan dengan perencanaan yang matang, dampak negatif bisa ditekan.
- Namun, jika terjadi lonjakan harga energi dalam negeri akibat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, bisa menimbulkan ketidakstabilan sosial.
Jika kesiapan infrastruktur dan industri dalam negeri sudah memadai, maka menghentikan ekspor gas dan memprioritaskan kebutuhan domestik akan memberikan dampak positif yang besar bagi ekonomi, sosial, dan politik Indonesia.
Namun, transisi ini perlu dilakukan dengan strategi bertahap untuk menghindari gangguan dalam negeri maupun tekanan internasional. Pemerintah perlu:
- Menjamin infrastruktur siap sebelum mengurangi ekspor.
- Menarik investasi industri hilir untuk menciptakan nilai tambah lebih tinggi.
- Meningkatkan efisiensi distribusi gas agar tidak terjadi kelangkaan atau ketimpangan pasokan.
- Menjaga hubungan diplomatik dengan negara yang selama ini mengimpor gas dari Indonesia agar tidak terjadi dampak negatif terhadap hubungan dagang lainnya.
Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan baik, Indonesia bisa menjadi negara mandiri energi, memiliki industri hilir yang maju, serta membangun ketahanan pangan yang lebih kuat.
Prospek Hilirisasi Gas Alam untuk penggunaan dalam industri domestik
Mengalihkan pemanfaatan gas alam dari ekspor sebagai bahan mentah menuju hilirisasi dan penggunaan dalam industri domestik dapat menghasilkan peningkatan nilai tambah yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Berikut adalah analisis nilai tambah tersebut dalam perspektif finansial:
1. Nilai Tambah dari Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT):
Kementerian Perindustrian melaporkan bahwa implementasi HGBT telah memberikan nilai tambah ekonomi sebesar Rp157,20 triliun selama periode 2021-2023. Investasi negara untuk program ini mencapai Rp51,04 triliun, sehingga menghasilkan keuntungan tiga kali lipat. Manfaat ini mencakup peningkatan ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan peningkatan investasi.Â
2. Nilai Tambah dalam Industri Petrokimia:
Pengembangan industri hilir petrokimia dapat meningkatkan nilai produk secara signifikan. Sebagai ilustrasi, pemanfaatan paraksilin untuk produksi garmen atau karpet dapat meningkatkan nilai produk dari US$1.500 per ton menjadi US$150.000 per ton, menunjukkan peningkatan nilai lebih dari 9.900%.Â
3. Inisiatif Bisnis Pengolahan oleh Pertamina:
Pertamina melaporkan bahwa berbagai inisiatif bisnis pengolahan telah menghasilkan nilai tambah sebesar US$174,11 juta per bulan. Kontribusi terbesar berasal dari pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) di Cilacap dan Kilang TPPI, yang mengurangi impor Premium sekitar 30-42% dan impor Diesel sebesar 44%.Â
Konversi ke Dalam Rupiah:
Untuk memberikan perspektif dalam mata uang rupiah, asumsi kurs yang digunakan adalah Rp15.000 per US$1. Berdasarkan asumsi ini:
Nilai Tambah dari HGBT: Rp157,20 triliun.
Nilai Tambah Industri Petrokimia: Peningkatan nilai dari US$1.500 menjadi US$150.000 per ton setara dengan peningkatan dari Rp22,5 juta menjadi Rp2,25 miliar per ton.
Inisiatif Bisnis Pengolahan Pertamina: US$174,11 juta per bulan setara dengan Rp2,611 triliun per bulan, atau sekitar Rp31,332 triliun per tahun.
Hilirisasi dan pemanfaatan gas alam untuk industri domestik berpotensi memberikan nilai tambah yang sangat signifikan bagi perekonomian Indonesia, baik dalam bentuk peningkatan nilai produk, pengurangan impor, maupun peningkatan pendapatan negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI