KNK ditulis oleh seorang India Muslim bernama Dipati Khoja Ali (Kuja Ali Dipati) berdasarkan rumusan hasil sidang para Dipati dari Bumi Kerinci yang berlangsung di Paseban di wilayah Palimbang --bukan kota Palembang saat ini-- dan disaksikan oleh Paduka Maharaja Dharmasraya.Â
KNK menyiratkan adanya sebuah kerajaaan monarki konstitusional di masa lalu. UU tidak murni dibuat oleh raja tetapi hasil rumusan dan kesepakatan para legislator dalam hal ini para Dipati dari Bumi Kerinci yang kemudian disyahkan oleh Paduka Maharaja Dharmasraya.Â
 Lebih lanjut, KNK menjadi bukti babakan akhir dari periode panjang sejarah Kerajaan Melayu Kuno di Pulau Sumatra. Hunter (2015) menyebutkan bahwa KNK terkait erat dengan penguasa Kerajaan Malayu saat itu (Adityawarman atau penerus tahtanya) yang saat itu pusat kerajaan telah berpindah ke wilayah pedalaman Sumatra  Barat (Sekitar Tanah Datar saat ini). KNK sekaligus menjadi bukti bagaimana hubungan antara penguasa di Kerinci dengan Kerajaan Malayupura pada masa klasik di Sumatra.
4. Nilai Penting bagi Masyarakat
Perilaku budaya masyarakat Kerinci terhadap KNK adalah sesuatu yang sangat unik dan mungkin tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. KNK jelas sekali adalah naskah pra-Islam (dari masa klasik) yang dijadikan pusaka dan sangat dihormati keberadaannya oleh masyarakat Kerinci  yang merupakan penganut Islam.
 Voorhoeve menyaksikan bagaimana naskah KNK diturunkan dari ruang penyimpanannya, kemudian diarak mengelilingi dusun oleh para penguasa adat setempat yang berpakaian laiknya seorang Kiyai.Â
Bahkan tradisi pensakralan KNK tersebut masih berlangsung hingga sekarang dan disaksikan pula oleh Uli Kozok. Â Sebuah naskah klasik yang bertahan di tengah-tengah lautan Muslim. Â
Selain itu, cara masyarakat memperlakukan KNK menunjukkan bagaimana konservasi secara tradisional mampu menjaga kelestarian naskah KNK ratusan tahun lamanya.
Hal ini semata-mata sebagai upaya pelestarian warisan budaya sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya bangsa kepada dunia internasional.
KNK menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia sejak masa lalu telah  merumuskan UU sendiri berdasarkan asas Demokrasi, musyawarah untuk mufakat. Bahkan si penulis kitab ini terindikasi merupakan seorang Muslim  yang menuliskan pula beberapa mantra sanksrit. Sebagaimana bunyi teks di bagian akhir naskah: