Mohon tunggu...
Haekal Siregar
Haekal Siregar Mohon Tunggu... -

System Engineer PT Artajasa, Oracle DBA, Penulis buku, Moderator HukPol MyQuran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Cerpen) Terapung

21 Januari 2010   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Entahlah…” jawabku pendek pada akhirnya. Walaupun Aziz entah mendengarnya atau tidak lagi sanggup mendengar.

“Alhamdulillah…” kata terakhir Aziz sebelum melepaskan semua napas kehidupannya dengan wajah yang lega dan bersyukur.

Tak ada lagi air mata yang dapat kukeluarkan. Mungkin memang ini yang terbaik, aku tidak tahan lagi melihat penderitaan Aziz.

***

Tak tega rasanya menghanyutkan jazad Aziz. Ia berhak mendapatkan pemakaman yang terbaik. Sudah hari keenam aku terapung di tengah laut. Rasa lapar, panas, haus, semua mulai memberikanku halusinasi yang luar biasa. Terkadang aku merasa berada tepat di depan markas perjuanganku di gunung. Bersama rekan-rekanku, berjuang melawan penjajahan atas tanah rencong. Merencanakan semua tindakan yang mereka sebut sebagai ‘operasi GAM’.

Terkadang pula, aku berada di kampungku. Shalat berjamaah bersama di masjid, bermain bersama anakku, dan berjalan-jalan dengan istriku. Dapat dengan jelas kurasakan belaian lembut tangan ibuku yang mulai keriput di sela rambutku, sementara aku menasihati Aziz untuk tidak mengikuti jejakku dan mengurus ibuku terlebih dahulu.

Dan akhirnya, ketika halusinasiku mencapai titik puncaknya, aku merasa sedang bercengkrama dengan Aziz di atas dipan kayu rumah kami. Bukannya mengapung di tengah laut seperti ini. Mengobrol seperti yang biasa kami lakukan sejak kecil dulu. Membicarakan teman, menertawakan lelucon, memprihatinkan keadaan Aceh yang selalu rusuh.

Jazad Aziz mulai menggembung dan membusuk. Seharusnya segera dilepas saja ke lautan bebas. Tapi…, aaah! Ia adikku. Takkan kubiarkan ia menjadi makanan ikan. Ia layak mendapat penguburan sewajarnya di kampung kami.

Aku masih sholat pastinya. Walaupun pernah kusadari aku sholat ashar di tengah malam. Sebelum aku akhirnya mengulang sholat isya, walaupun sekarang setiap gerakan mulai menyakiti semua sendiku.

Dengan lemah, aku memandang botol yang kini hanya terisi seperempatnya. Seirit apapun aku meminumnya (hanya seteguk setiap hari), tetap saja suatu saat air itu akan habis. Aku tersenyum membayangkan kemungkinan menyusul adik, istri, dan ibuku.

“Aku harus mempersiapkan sebaik-baiknya!” tekadku sambil terus berzikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun