Mohon tunggu...
Haekal Siregar
Haekal Siregar Mohon Tunggu... -

System Engineer PT Artajasa, Oracle DBA, Penulis buku, Moderator HukPol MyQuran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Cerpen) Terapung

21 Januari 2010   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rupanya secara refleks, pintu yang menghantam kepalaku langsung kupegang erat-erat. Pintu yang merobek belakang kepalaku sekaligus menolong menjagaku tetap mengambang di atas air. Rakit darurat ini lumayan besar, lebih besar dari ukuran tubuhku sendiri. Rupanya pemilik pintu ini sebelumnya termasuk orang kaya yang pasti memiliki rumah besar sekali. Mungkin cukup besar untuk bertahan terhadap terjangan arus, tapi kurang begitu tahan untuk menjaga pintu rumahnya tetap menempel.

Dengan kebingungan, aku mencoba memikirkan apa yang telah terjadi. Kilasan bayangan-bayangan yang menyakitkan. Yang kuketahui hanyalah getaran keras, aku keluar dari rumah mencoba mencari tahu apa yang bisa kubantu, sebelum semua orang berlarian menjauhi pantai sambil berteriak-teriak.

“Dan sekarang, apa yang dapat kulakukan?” tanyaku kebingungan sebelum menyadari situasi sebenarnya yang sedang kujalani.

Dengan mulai meneteskan air mata, aku mulai mengingat dan bertanya nasib ibuku, istriku, anakku, adikku, rumahku, semua yang kukenal dan kuketahui. Sementara aku terapung, terbawa arus yang kini membawaku semakin jauh dari pantai. Membawaku semakin jauh ke tengah laut!

***

Tiga hari terapung di tengah deburan ombak yang tenang seakan tidak pernah terjadi apapun. Tenggorokanku terasa terbakar oleh haus, sementara seluruh luka di punggung dan belakang kepalaku terbasuh air asin laut yang semakin melebarkan sobekannya. Tapi semua tertutup oleh rasa sakit kaki kiriku yang semakin membengkak, dan mulai membusuk pada luka bekas tusukan paku yang kucurigai mulai meracuni tubuhku dengan tetanus.

“Allah! Allah! Allah! Kupasrahkan diri pada-Mu! Kupasrahkan keselamatan keluargaku pada-Mu! Hiduplah aku bila itu ingin-Mu! Matilah aku bila memang Kau ingin aku kembali,” erangku lemah.

Walau tak tahu waktu, kucoba sholat di atas rakit ini. Dengan lemah dan pasrah, kucoba terus berdzikir sementara beberapa mayat terlintas di dekatku. Mayat-mayat yang tadinya kukenal. Mayat-mayat yang tadinya tetanggaku. Mayat-mayat yang sebelumnya sempat sholat subuh berjamaah sebelum cobaan ini berlangsung.

***

Di tengah gulitanya malam, kudengar rintihan lemah di dekatku.

“Halusinasi,” pikirku muram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun