Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Warrior's Path 2

10 Juli 2024   19:31 Diperbarui: 10 Juli 2024   19:38 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sunyi, angin berdersir melewati pakaian.

GRROOOAARRR.

Sebuah auman mengguncang seluruh gunung, apa itu?

GRROOOAARRR.

Kedua kalinya, kali ini lebih jelas, seperti adas sesuatu. Kami saling  pandang, segera turun kebawah untuk memastikan. Amara dan Kerlin sudah keluar dari kama, ikut memandang ke jendela, sama bingungnya.

"apa itu tadi" Tanya Amara, memandangku cemas, ini bukan hal yang sewajarnya terjadi. "ayo kebawah, tanyakan pada Sensei" ajak Denki, ialah sosok yang bagaikan memiliki  dua hati ketika menghadapi dua kejadian berbeda, sigap menuruni tangga. kami berempat mengangguk.

Lantai dasar sunyi, lampu pasti dimatikan sensei sejak setengah menit yang lalu, koridor yang seharusnya terang menjadi gelap gulita. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, memasang mata dan telinga. Ada satu kamar yang masih menyalakan lentera redup, kamar persegi sensei tempatnya bermeditasi. Denki mengetuk pintunya.

Terdengar sebuah seruan dari dalam. "masuklah"

Kami berempat terlihat dari ambang pintu ketika itu terbuka, sensei Qanae duduk dalam posisi seiza yang sempurna di depan katananya yang hampir tidak terlihat, saking gelapnya. Ia membongkar posisi duduk demi melihat kami berempat masuk.

Sebagai tata tertib, kami duduk masuk kedalam dengan seiza yang tak kalah sempurna, Denki membuka pembicaraan "sensei, kami mendengar suara yang tidak wajar". Sensei mengangkat sebelah alis, memandang kepadaku, meminta kesaksian tambahan. "benar, suara itu berasal dari gunung utama, mengguncangkan seluruh tempat pegunungan Dakhil" jelasku. "aku dan Amara juga" kali ini Kerlin berbicara.

Ruangan itu menjadi penuh dengan hawa waswas ditambah dengan lentera yang redup semakin memperburam suasana. Sensei hanya diam, wajahnya yang berlapis besi tersebut dalam posisi siaga tanpa kantuk sedikit pun. Ia berdiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun