Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Warrior's Path 2

10 Juli 2024   19:31 Diperbarui: 10 Juli 2024   19:38 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Namaku Kiato.

Kalian mungkin mengenalku dalam beberapa halaman hidup lainnya, untuk kali ini aku memilih untuk memiliki sebuah halaman hikayat dalam sudut pandangku sendiri. Aku adalah anak didik dari seorang samurai berjati ninja paling hebat di seantero benua ini, sensei Qanae. Dengan dialah aku menjalani hampir dua tahun setengah pelatihan dalam sesi Awwal, dan itupun masih dianggapnya kurang, bahkan belum seperempat dari seluruh ilmunya.

Sekolahan kami sederhana, sebuah pagoda yang dialih fungsikan sebagai asrama dan ruang makan, serta sebuah lapangan batu dengan simbol klan suci penjaga gunung, Ma un. Sebuah beringin tumbuh dalam seribu tahun menjadi saksi bisu dari seluruh darah yang tumpah di sekitarnya, menjawab apapun yang kalian tanyakan jika ia dapat berbicara.

Dan tempat ini jauh dari mana-mana, dalam pedalaman hutan pegunungan Dakhil yang hampir tak berpenghuni lagi, hanya ketika tahun barulah penduduk desa dapat melihat pagoda kami, karena sensei menyalakan api tepat di pucuk atap lantai teratas, memikat melihatnya.

Baru sore tadi, seorang murid masuk kedalam sini, dan segera diterima oleh sensei menjadi muridnya di bagian Tsani. Kerlin, seorang gadis berambut tiga warna. Kukira dia akan kaku ketika berkenalan, nyatanya tidak, dengan cepat ia bisa berbaur di antara kami bertiga. Terutama dengan Amara.

Ah, ngomong-ngomong, bintang malam ini indah sekali. Angin kembali membelai ujung pakaian ku dan Denki di lantai atap teratas pagoda, sudah menjadi kebiasaan kami untuk sekedar duduk disana dan mengedarkan pandangan, terutama kearah kota kecil di bawah sana, kelap-kelip lampionnya sangat indah, rumah-rumah dengan ujung melengkung memenuhi setiap bloknya, dan orang-orang berpakaian serasi berjalan bersamaan dalam sebuah alur festival.

"aku ingat dulu ketika kita masih hidup disana" aku terkekeh, menoleh pada Denki yang juga menghirup udara dalam-dalam, malam itu begitu damai. "sayangnya bukan memori bagus seperti sekarang, kurasa bahkan lebih baik kita ada disini, tempat tenang tanpa bahaya dan kelaparan seperti dulu lagi" dia tersenyum tipis, menatap kekejauhan.

Aku mengikuti matanya, kami dulu adalah brandalan liar di kota Shijiki, tempat yang indah tersebut. Tidak ada yang memaksa kami menjadi seperti itu selain terbuang, dam setiap harinya ada saja pekerjaan yang harus dilakukan hanya agar perut tidak melupakan rasanya nasi. Mencuri, menjual, berkelahi, bahkan saling melukai untuk sesuatu yang namanya pengakuan.

Aku dan Denki tidak pernah mendapatkan hal yang namanya pengakuan, kami hanya tahu bahwa mesti keluar dari kota ini untuk kehidupan yang berbeda. Mungkin hasilnya akan berbeda bila seandainya sensei Qanae tidak menemukan kami sekarat setengah mati di kaki gunung setelah keroyokan melawan penjaga kota. Ia membawa kami ke tempat sekarang.

Saat itu sudah ada seorang gadis sepantaran kami, Amara, sensei mendidik kami sama rata dan mengikuti pelatihannya agar bisa bertahan suatu hari nanti. Kemudian, disinilah kami, berjalan setelah bisa merangkak. Begitu kata sensei sebagai ucapan selamatnya.

"tidak terasa, lusa sudah hari terakhir tahun ini iya" Denki tiba-tiba berucap, matanya masih tertancap pada langit, memerhatikan satu persatu pendar bintang diatas sana. Aku mengangguk, "ya, dan kita dua tahun berada disini" tambahku.

Sunyi, angin berdersir melewati pakaian.

GRROOOAARRR.

Sebuah auman mengguncang seluruh gunung, apa itu?

GRROOOAARRR.

Kedua kalinya, kali ini lebih jelas, seperti adas sesuatu. Kami saling  pandang, segera turun kebawah untuk memastikan. Amara dan Kerlin sudah keluar dari kama, ikut memandang ke jendela, sama bingungnya.

"apa itu tadi" Tanya Amara, memandangku cemas, ini bukan hal yang sewajarnya terjadi. "ayo kebawah, tanyakan pada Sensei" ajak Denki, ialah sosok yang bagaikan memiliki  dua hati ketika menghadapi dua kejadian berbeda, sigap menuruni tangga. kami berempat mengangguk.

Lantai dasar sunyi, lampu pasti dimatikan sensei sejak setengah menit yang lalu, koridor yang seharusnya terang menjadi gelap gulita. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, memasang mata dan telinga. Ada satu kamar yang masih menyalakan lentera redup, kamar persegi sensei tempatnya bermeditasi. Denki mengetuk pintunya.

Terdengar sebuah seruan dari dalam. "masuklah"

Kami berempat terlihat dari ambang pintu ketika itu terbuka, sensei Qanae duduk dalam posisi seiza yang sempurna di depan katananya yang hampir tidak terlihat, saking gelapnya. Ia membongkar posisi duduk demi melihat kami berempat masuk.

Sebagai tata tertib, kami duduk masuk kedalam dengan seiza yang tak kalah sempurna, Denki membuka pembicaraan "sensei, kami mendengar suara yang tidak wajar". Sensei mengangkat sebelah alis, memandang kepadaku, meminta kesaksian tambahan. "benar, suara itu berasal dari gunung utama, mengguncangkan seluruh tempat pegunungan Dakhil" jelasku. "aku dan Amara juga" kali ini Kerlin berbicara.

Ruangan itu menjadi penuh dengan hawa waswas ditambah dengan lentera yang redup semakin memperburam suasana. Sensei hanya diam, wajahnya yang berlapis besi tersebut dalam posisi siaga tanpa kantuk sedikit pun. Ia berdiri.

"anak-anak. Aku bermeditasi sejak makan malam ,dan terus disini sejak kalian naik ke lantai atas hingga turun lagi, tidak yang disebut sebagai suara tidak wajar , tempat ini begitu tenang sedari tadi" langkahnya berhenti setelah mengelilingi kami berempat, ia membawa sebuah rotan, entah untuk apa. "kita tahu masing-masing dari kita memiliki indra yang sempurna, jika ada yang kurang maka yang lain akan manambahi, dan bila ada yang lebih, maka sebaiknya berbagi" kalimatnya menjadi ganjil.

"Segala yang kalian lihat, dengar, dan rasakan, boleh jadi bukan dari apapun, alias sebuah ilusi saja. Jika suara itu benar adanya, maka pastilah seluruh orang akan serentak berkata hal yang sama pada alam. Sayangnya tidak" ia menggeleng, posisinya masih sedari tadi, di belakang Kerlin.

"pertajam indra kalian, jangan tertipu dengan ilusi dunia, dan berbagilah" kali ini dia memukulkan dengan pelan rotannya pada kami semua, lalu kembali duduk di tempat semula. "ingat" sedetik kemudian dia sudah dalam meditasi. Berarti memperbolehkan kami untuk keluar.

"sepertinya ini" ucap Amara ketika kami sampai di kamar, ia membuka sebuah gulungan perkamen di tengah-tengah kami. "ini hanya mitos dan legenda yang kutemukan di gudang, tapi sepertinya sensei menyembunyikannya" ucapnya lagi.

Halaman pertama perkamen itu memberi gambaran sebuah naga bersayap empat, sedang berdiri di antara dua bukit, kondisi sekitarnya sedang hujan guntur dahsyat. "namanya Drake, sebuah hewan mitologi Shijiki yang paling terkenal dulunya. Informasi disini tidak lengkap" kali ini dia berseru kecewa, sama kecewanya dengan kami yang mendengarkan.

Besoknya, berjalan seperti biasa.

"hari ini, adalah pelajaran bagaimana kalian menuntut mata sebagai penipu" ucap sensei di hadapan kami semua. "ketika mata tidak dapat lagi dipercaya, kalian harus menggunakan indra lainnya untuk melihat" dia menatap kami satu persatu, menanamkan kalimatnya dalam-dalam di jiwa kami.

"ada banyak hal bisa kalian temukan ketika memejam selain kegelapan, dengan mendengarkan, suara angin pun akan terasa. Dengan meraba sebuah jalan rahasia pun akan terbuka lebar, dan dengan mengecap, kalian akan tahu yang baik dan buruk." Matanya membelakangi kami, menghadap pada beringin. "gunakan tongkat kalian, putar menggunakan sebelah tangan dan rasakan tidap gerakan akselarasi" dia menyuruh kami berdiri.

Tangannya yang berbalut pakaian latihan putih, memegang bagian tengah tongkat, lalu memutar-mutar dengan santai. Semakin lama menjadi semakin cepat, hingga kemudia bedesir di kedua sisi tubuhnya. Kami mengikuti tanpa ragu, latihan bagian pertama biasanya lebih mudah.

Ketika kami mulai menguasainya, sensei Qanae berucap "mulai tutupkan mata". Barulah sensasi berdesir itu didapatkan, walaaupun hanya sebentar samapai berkelontang di lapangan. Bahkan Amara yang lebih ahli ikut terjauh, terpisah beberapa saat.

"bagus" puji sensei, walaupun kami tidak tahu dimana seharusnya letak pujian itu. "sebagai permulaan, menggunakan tongkat di kegelapan adalah hal yang penting, karena tidak semua pertarungan menyediakan cahaya yang cukup, dan kalian harus menggunakan seluruh indra kalian yang lainnya untuk melihat" jelasnya, dan dia memberi instruksi agar kami mengulangi latihan yang sama hingga ujung hari, dan benar-benar menguasainya.

Sayangnya, pikiranku tidak terlalu fokus karena peristiwa malam tadi sehingga terus menjatuhkan tongkatnya. Nampaknya, tidak hanya aku, kami semua juga merasakannya.

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun