Sunyi, angin berdersir melewati pakaian.
GRROOOAARRR.
Sebuah auman mengguncang seluruh gunung, apa itu?
GRROOOAARRR.
Kedua kalinya, kali ini lebih jelas, seperti adas sesuatu. Kami saling  pandang, segera turun kebawah untuk memastikan. Amara dan Kerlin sudah keluar dari kama, ikut memandang ke jendela, sama bingungnya.
"apa itu tadi" Tanya Amara, memandangku cemas, ini bukan hal yang sewajarnya terjadi. "ayo kebawah, tanyakan pada Sensei" ajak Denki, ialah sosok yang bagaikan memiliki  dua hati ketika menghadapi dua kejadian berbeda, sigap menuruni tangga. kami berempat mengangguk.
Lantai dasar sunyi, lampu pasti dimatikan sensei sejak setengah menit yang lalu, koridor yang seharusnya terang menjadi gelap gulita. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, memasang mata dan telinga. Ada satu kamar yang masih menyalakan lentera redup, kamar persegi sensei tempatnya bermeditasi. Denki mengetuk pintunya.
Terdengar sebuah seruan dari dalam. "masuklah"
Kami berempat terlihat dari ambang pintu ketika itu terbuka, sensei Qanae duduk dalam posisi seiza yang sempurna di depan katananya yang hampir tidak terlihat, saking gelapnya. Ia membongkar posisi duduk demi melihat kami berempat masuk.
Sebagai tata tertib, kami duduk masuk kedalam dengan seiza yang tak kalah sempurna, Denki membuka pembicaraan "sensei, kami mendengar suara yang tidak wajar". Sensei mengangkat sebelah alis, memandang kepadaku, meminta kesaksian tambahan. "benar, suara itu berasal dari gunung utama, mengguncangkan seluruh tempat pegunungan Dakhil" jelasku. "aku dan Amara juga" kali ini Kerlin berbicara.
Ruangan itu menjadi penuh dengan hawa waswas ditambah dengan lentera yang redup semakin memperburam suasana. Sensei hanya diam, wajahnya yang berlapis besi tersebut dalam posisi siaga tanpa kantuk sedikit pun. Ia berdiri.