"anak-anak. Aku bermeditasi sejak makan malam ,dan terus disini sejak kalian naik ke lantai atas hingga turun lagi, tidak yang disebut sebagai suara tidak wajar , tempat ini begitu tenang sedari tadi" langkahnya berhenti setelah mengelilingi kami berempat, ia membawa sebuah rotan, entah untuk apa. "kita tahu masing-masing dari kita memiliki indra yang sempurna, jika ada yang kurang maka yang lain akan manambahi, dan bila ada yang lebih, maka sebaiknya berbagi" kalimatnya menjadi ganjil.
"Segala yang kalian lihat, dengar, dan rasakan, boleh jadi bukan dari apapun, alias sebuah ilusi saja. Jika suara itu benar adanya, maka pastilah seluruh orang akan serentak berkata hal yang sama pada alam. Sayangnya tidak" ia menggeleng, posisinya masih sedari tadi, di belakang Kerlin.
"pertajam indra kalian, jangan tertipu dengan ilusi dunia, dan berbagilah" kali ini dia memukulkan dengan pelan rotannya pada kami semua, lalu kembali duduk di tempat semula. "ingat" sedetik kemudian dia sudah dalam meditasi. Berarti memperbolehkan kami untuk keluar.
"sepertinya ini" ucap Amara ketika kami sampai di kamar, ia membuka sebuah gulungan perkamen di tengah-tengah kami. "ini hanya mitos dan legenda yang kutemukan di gudang, tapi sepertinya sensei menyembunyikannya" ucapnya lagi.
Halaman pertama perkamen itu memberi gambaran sebuah naga bersayap empat, sedang berdiri di antara dua bukit, kondisi sekitarnya sedang hujan guntur dahsyat. "namanya Drake, sebuah hewan mitologi Shijiki yang paling terkenal dulunya. Informasi disini tidak lengkap" kali ini dia berseru kecewa, sama kecewanya dengan kami yang mendengarkan.
Besoknya, berjalan seperti biasa.
"hari ini, adalah pelajaran bagaimana kalian menuntut mata sebagai penipu" ucap sensei di hadapan kami semua. "ketika mata tidak dapat lagi dipercaya, kalian harus menggunakan indra lainnya untuk melihat" dia menatap kami satu persatu, menanamkan kalimatnya dalam-dalam di jiwa kami.
"ada banyak hal bisa kalian temukan ketika memejam selain kegelapan, dengan mendengarkan, suara angin pun akan terasa. Dengan meraba sebuah jalan rahasia pun akan terbuka lebar, dan dengan mengecap, kalian akan tahu yang baik dan buruk." Matanya membelakangi kami, menghadap pada beringin. "gunakan tongkat kalian, putar menggunakan sebelah tangan dan rasakan tidap gerakan akselarasi" dia menyuruh kami berdiri.
Tangannya yang berbalut pakaian latihan putih, memegang bagian tengah tongkat, lalu memutar-mutar dengan santai. Semakin lama menjadi semakin cepat, hingga kemudia bedesir di kedua sisi tubuhnya. Kami mengikuti tanpa ragu, latihan bagian pertama biasanya lebih mudah.
Ketika kami mulai menguasainya, sensei Qanae berucap "mulai tutupkan mata". Barulah sensasi berdesir itu didapatkan, walaaupun hanya sebentar samapai berkelontang di lapangan. Bahkan Amara yang lebih ahli ikut terjauh, terpisah beberapa saat.
"bagus" puji sensei, walaupun kami tidak tahu dimana seharusnya letak pujian itu. "sebagai permulaan, menggunakan tongkat di kegelapan adalah hal yang penting, karena tidak semua pertarungan menyediakan cahaya yang cukup, dan kalian harus menggunakan seluruh indra kalian yang lainnya untuk melihat" jelasnya, dan dia memberi instruksi agar kami mengulangi latihan yang sama hingga ujung hari, dan benar-benar menguasainya.