Namaku Kiato.
Kalian mungkin mengenalku dalam beberapa halaman hidup lainnya, untuk kali ini aku memilih untuk memiliki sebuah halaman hikayat dalam sudut pandangku sendiri. Aku adalah anak didik dari seorang samurai berjati ninja paling hebat di seantero benua ini, sensei Qanae. Dengan dialah aku menjalani hampir dua tahun setengah pelatihan dalam sesi Awwal, dan itupun masih dianggapnya kurang, bahkan belum seperempat dari seluruh ilmunya.
Sekolahan kami sederhana, sebuah pagoda yang dialih fungsikan sebagai asrama dan ruang makan, serta sebuah lapangan batu dengan simbol klan suci penjaga gunung, Ma un. Sebuah beringin tumbuh dalam seribu tahun menjadi saksi bisu dari seluruh darah yang tumpah di sekitarnya, menjawab apapun yang kalian tanyakan jika ia dapat berbicara.
Dan tempat ini jauh dari mana-mana, dalam pedalaman hutan pegunungan Dakhil yang hampir tak berpenghuni lagi, hanya ketika tahun barulah penduduk desa dapat melihat pagoda kami, karena sensei menyalakan api tepat di pucuk atap lantai teratas, memikat melihatnya.
Baru sore tadi, seorang murid masuk kedalam sini, dan segera diterima oleh sensei menjadi muridnya di bagian Tsani. Kerlin, seorang gadis berambut tiga warna. Kukira dia akan kaku ketika berkenalan, nyatanya tidak, dengan cepat ia bisa berbaur di antara kami bertiga. Terutama dengan Amara.
Ah, ngomong-ngomong, bintang malam ini indah sekali. Angin kembali membelai ujung pakaian ku dan Denki di lantai atap teratas pagoda, sudah menjadi kebiasaan kami untuk sekedar duduk disana dan mengedarkan pandangan, terutama kearah kota kecil di bawah sana, kelap-kelip lampionnya sangat indah, rumah-rumah dengan ujung melengkung memenuhi setiap bloknya, dan orang-orang berpakaian serasi berjalan bersamaan dalam sebuah alur festival.
"aku ingat dulu ketika kita masih hidup disana" aku terkekeh, menoleh pada Denki yang juga menghirup udara dalam-dalam, malam itu begitu damai. "sayangnya bukan memori bagus seperti sekarang, kurasa bahkan lebih baik kita ada disini, tempat tenang tanpa bahaya dan kelaparan seperti dulu lagi" dia tersenyum tipis, menatap kekejauhan.
Aku mengikuti matanya, kami dulu adalah brandalan liar di kota Shijiki, tempat yang indah tersebut. Tidak ada yang memaksa kami menjadi seperti itu selain terbuang, dam setiap harinya ada saja pekerjaan yang harus dilakukan hanya agar perut tidak melupakan rasanya nasi. Mencuri, menjual, berkelahi, bahkan saling melukai untuk sesuatu yang namanya pengakuan.
Aku dan Denki tidak pernah mendapatkan hal yang namanya pengakuan, kami hanya tahu bahwa mesti keluar dari kota ini untuk kehidupan yang berbeda. Mungkin hasilnya akan berbeda bila seandainya sensei Qanae tidak menemukan kami sekarat setengah mati di kaki gunung setelah keroyokan melawan penjaga kota. Ia membawa kami ke tempat sekarang.
Saat itu sudah ada seorang gadis sepantaran kami, Amara, sensei mendidik kami sama rata dan mengikuti pelatihannya agar bisa bertahan suatu hari nanti. Kemudian, disinilah kami, berjalan setelah bisa merangkak. Begitu kata sensei sebagai ucapan selamatnya.
"tidak terasa, lusa sudah hari terakhir tahun ini iya" Denki tiba-tiba berucap, matanya masih tertancap pada langit, memerhatikan satu persatu pendar bintang diatas sana. Aku mengangguk, "ya, dan kita dua tahun berada disini" tambahku.