Mohon tunggu...
Hadi Sastra
Hadi Sastra Mohon Tunggu... Dosen - Guru, Dosen, Penulis

Hadi Sastra, seorang Guru, Dosen, dan Penulis, tinggal di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Menyukai bidang sastra, bahasa, literasi, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Insyaf

28 Juli 2021   15:51 Diperbarui: 28 Juli 2021   16:12 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wak Tarmad, biasa lelaki itu dipanggil. Usianya sudah kepala enam. Tubuhnya kerempeng. Matanya cekung. Kulit berwarna gelap. Rambut sudah dipenuhi uban. Pengangguran. Hobinya tak berubah semenjak muda; berjudi dan mabuk-mabukan.

Suatu hari, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Wak Tarmad pulang dalam keadaan sempoyongan. Badannya kotor. Bajunya lusuh. Rambut acak-acakan. Matanya merah. Bau alkohol. Menggedor-gedor pintu rumahnya.

“Buka pintu!” seru Wak Tarmad.

Belum ada yang membukakan pintu. Sekali lagi Wak Tarmad berteriak. Belum juga dibukakan pintu. Istri dan anaknya masih pulas.

Wak Tarmad tak sabar. “Woy, buka pintu!” teriaknya.

Sang istri bangun. Menuju ke ruang tamu. Membuka pintu. Segera Wak Tarmad mendorong pintu. Melabrak istrinya. “Dasar budek!” dampratnya. Matanya melotot. Sang istri diam. Memandang suaminya. Lalu berjalan menuju kamar.

Wak Tarmad mengoceh, “Istri kurang ajar. Suami pulang malah ditinggal.” Sambil berjalan terhuyung ke arah kamar.

Istrinya berhenti, berbalik arah. “Sampai kapan Bapak begitu terus?” tanyanya kesal. “Eling, Pak. Bapak sudah tua.”

“Diam kamu!” bentak Wak Tarmad.

“Dari dulu tidak berubah.”

“Diam!” Mata Wak Tarmad melotot tajam.

“Kurang sabar apa aku? Tiap hari Bapak cuma berjudi. Mabuk-mabukan. Pulang larut malam. Tidak pernah memikirkan keluarga.”

“Aku bilang diam! Bangsat!”

“Selama ini aku diam. Tapi Bapak malah makin menjadi. Makin tidak karuan,” suara istri Wak Tarmad mulai meninggi. “Tidak usah pulang saja sekalian.”

“Ngomong apa kamu?” Wak Tarmad marah. “Ini rumahku. Kamu numpang di sini.”

“Oh, begitu? Kalau itu maumu, besok aku akan pergi.”

Anak Wak Tarmad terbangun. Menghampiri ibunya. “Sudah, Mak,” katanya pelan. Gadis belia itu memeluk sang ibu.

Wak Tarmad bermaksud menampar istrinya. Namun, tiba-tiba terjatuh. Seolah ada yang mendorongnya. Kontan saja Wak Tarmad tersungkur, persis di depan istri dan anaknya.

Istri dan anak Wak Tarmad hanya mematung. Menyaksikan Wak Tarmad yang tak sadarkan diri. Mereka kemudian saling memandang. Anak Wak Tarmad memperhatikan ayahnya. Lalu jongkok, lebih memperhatikan. Melihat cairan busa putih keluar dari mulut Wa Tarmad. Cairan yang menyebarkan bau busuk alkohol. “Mak,” lirih suaranya.

Wak Tarmad pingsan. Istri dan anaknya ketakutan. Memanggil-manggil Wak Tarmad sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Mereka berteriak-teriak meminta pertolongan tetangga. Namun tak satu pun tetangga yang datang. 

Para tetangga sudah bosan dengan kejadian seperti ini. Setiap kali Wak Tarmad mabuk berat, selalu saja tak sadarkan diri. Istri dan anaknya selalu berteriak-teriak meminta pertolongan. Mengganggu istirahat tetangga. Mengganggu ketenangan dan kenyamanan warga.

 Pada awal-awal memang para tetangga berdatangan. Membantu menyadarkan Wak Tarmad. Menasihati Wak Tarmad. Tetapi, karena setiap hari terjadi, mereka bosan juga. Bahkan jijik melihat Wak Tarmad, termasuk kepada istri dan anaknya.

Para tetangga pernah beramai-ramai mengusir keluarga Wak Tarmad. Mereka mengancam akan membakar rumah Wak Tarmad. Beruntung Pak RT dan tokoh masyarakat berhasil menenangkan warganya. Selamatlah Wak Tarmad sekeluarga. Hanya saja dengan syarat, jangan sekali lagi Wak Tarmad mengulangi perbuatannya. Namun, lagi-lagi Wak Tarmad melakukan hal yang sama. 

Dan lagi-lagi para tetangga mengancam. Lagi-lagi pula Wak Tarmad mengulangi. Wak Tarmad tak kapok. Bahkan pernah balik mengancam warga. Istri dan anaknya pasrah, sambil terus berdoa agar Wak Tarmad segera insyaf.

***

Wak Tarmad merasakan berada di suatu tempat. Tempat yang asing baginya. Tempat yang dikelilingi kobaran api. Semua yang dilihatnya api. Di kanan, kiri dan atasnya api. Bahkan apa yang dipijaknya juga api. Panas luar biasa. Dengan cepat api menjilati tubuh Wak Tarmad.

Wak Tarmad ketakutan. Memberontak. Berteriak-teriak. Meminta pertolongan. Namun, tak satu pun yang mendengar suaranya. Api makin berkobar. Sekujur tubuh Wak Tarmad hangus. Tak satu pun helai rambutnya yang lolos dari kobaran api. Kepalanya hancur. 

Seisi kepalanya muncrat berantakan. Kedua bola matanya keluar dan pecah. Badannya juga hancur, terpotong-potong dan berserakan. Isi dada dan perutnya terburai. Tulang-belulang terpental ke segala arah. Darah muncrat ke mana-mana. Tercium bau sangat busuk. Ribuan belatung dan binatang-binatang hitam berbisa menyerang dan melahap habis tubuh Wak Tarmad.  

Tubuh Wak Tarmad benar-benar habis. Dihajar kobaran api. Diserang amukan ribuan binatang. Tetapi, dalam sekejap menyatu kembali bagian-bagian tubuh itu. Lalu dihajar api lagi. Diserang binatang lagi. Menyatu kembali. Dihajar dan diserang lagi. Begitu seterusnya. 

Wak Tarmad melihat dan merasakan semua itu. Benar-benar dia merasakan. Dia merasakan kesakitan. Merasakan keanehan. Namun, dia tak dapat berbuat apa-apa. Entahlah!

Dalam kepanikan dan ketakuatannya, muncul sesosok makhluk asing. Tinggi besar. Sekujur badan berbulu lebat. Hitam legam. Rambutnya berapi. Dua tanduk panjang di kepalanya. Matanya besar melotot. Geriginya panjang dengan dua taring tajam. 

Urat-urat ototnya besar dan kuat. Kuku-kukunya seperti pedang. Langkahnya berat, menggetarkan sekeliling Wak Tarmad. Tak bersuara, namun hembusan napasnya terdengar sangat keras, memecahkan gendang telinga Wak Tarmad. Mendatangi Wak Tarmad yang makin ketakutan.

“Siapa kau?” tanya Wak Tarmad. Gemetar. Ingin sekali Wak Tarmad berlari menjauhi makhluk angker itu. Namun apa daya. Tubuhnya mendadak kaku. Kedua kaki serasa dipasung dengan rantai yang teramat panas, sehingga tak dapat sedikit pun digerakkan. 

Begitu pun kedua tangan, serasa diikat dengan borgol dari api yang berkobar-kobar. Sekujur tubuh Wak Tarmad serasa ditindih benda –entah apa– dengan ukuran dan berat yang tak terhingga. Menghancurkan tubuh Wak Tarmad. Berkeping-keping. Lalu menyatu kembali.

Tanpa basa-basi, makhluk ganas itu langsung menyerang Wak Tarmad. Kukunya memecahkan batok kepala Wak Tarmad. Kontan, isi kepala terburai. Mencabik-cabik tubuh Wak Tarmad. Seisi perut Wak Tarmad berantakan. Wak Tarmad menjerit tinggi. T

api makhluk itu tak peduli. Terus saja menghajar Wak Tarmad. Meremas-remas tubuh Wak Tarmad. Menjadi kepingan-kepingan kecil. Wak Tarmad merasakan sakit luar biasa.

“Siapa kau?!” kembali Wak Tarmad bertanya, dengan nada keras.

Makhluk itu menjawab dengan suara seperti bunyi ledakan bom atom. Teramat kencang. Menggelegar. Dahsyat. Seketika semua bergetar. Hancur. Termasuk tubuh Wak Tarmad. “Aku adalah maksiat yang kamu lakukan selama di dunia!” Kembali makhluk itu menghajar Wak Tarmad. 

Menyiksa. Tanpa ampun. Wak Tarmad meronta-ronta. Melolong seperti serigala. Memohon-mohon ampun. Memanggil-manggil istri dan anaknya. Menyebut-nyebut asma Allah swt. Menyebut-nyebut Rasulullah Muhammad saw.

***

Tubuh Wak Tarmad bergerak-gerak. Kedua tangannya bergetar, berusaha membuka kepalan. Kakinya menendang-nendang. Mulutnya menggumam. Tak jelas apa yang diucapkannya. Berusaha untuk membuka matanya. Wak Tarmad memberontak.

“Istigfar, Pak, istigfar,” istri Wak Tarmad berulang-ulang mengucapkan kalimat itu di telinga Wak Tarmad. Dia senang melihat suaminya mulai siuman. Menggoyang-goyangkan tubuh Wak Tarmad. Sang anak mengikuti apa yang dilakukan ibunya.

Dengan susah payah, akhirnya Wak Tarmad dapat membuka matanya. Dia melihat-lihat sekelilingnya. Masih kabur pandangannya. Sekujur tubuhnya terasa lemas. “Mak,” lirih suara Wak Tarmad. Matanya mengarah ke sang istri, kemudian ke anaknya.

Istrinya tersenyum. Matanya basah. Ibu dan anak saling berpandangan. Berpelukan. Lalu, bersama-sama memeluk Wak Tarmad. Wak Tarmad menangis. Tangisnya menyatu dengan tangis istri dan anaknya.

“Astaghfirullahal’adzim,” ucap Wak Tarmad pelan, “La ilaha illallah. Muhammadu rasulullah.” Berusaha bangkit.

“Alhamdulillah,” sahut istrinya bangga, “Bapak telah sadar.” Lalu segera membantu suami bangun. Sang anak membantunya.

Wak Tarmad menatap istri dan anaknya. Gemetar suaranya, “Bapak takut sekali,” diusapnya air mata sendiri. Istri dan anak memeluknya lagi. Mereka merasakan degup jantung Wak Tarmad kencang. Aura ketakutan menyelimuti ketiganya.

Wak Tarmad meneruskan, “Bapak masuk neraka.” Spontan istri dan anaknya terkejut. “Ya, neraka,” lanjut Wak Tarmad. “Bapak menyaksikan sendiri... neraka.”

“Maksud Bapak?” tanya sang istri. Ketakutannya makin menjadi.

“Bapak berada di neraka. Bapak melihat makhluk mengerikan. Betul-betul mengerikan. Menghancurkan tubuh Bapak,” berhenti sejenak, “Bapak menyaksikan semuanya. Tubuh Bapak hancur. Lalu utuh kembali. Hancur lagi, dan utuh lagi. Begitu seterusnya. Sakit sekali.”

“Bapak hanya bermimpi,” hibur anaknya. Sesungguhnya, dia tak menyukai ucapan sendiri. Dia yakin, apa yang disampaikan ayahnya bukan khayalan, tetapi betul-betul cerita nyata. Dia teringat, guru mengajinya pernah menceritakan tentang alam kubur. Persis seperti cerita ayahnya. Siksa kubur akan menimpa kepada siapa pun yang selama hidup di dunia berbuat aniaya. Tak taat perintah agama. Bergelimang dosa. Na’udzubillahi min dzalik. Sekujur tubuh anak Wak Tarmad merinding.

Tatapan Wak Tarmad kosong. “Bapak yakin, ini bukan mimpi.” Istri dan anak makin erat memeluk Wak Tarmad. “Maafkan Bapak.” Kemudian memeluk istri dan anaknya. Air mata mereka deras.

Wak Tarmad menatap jam dinding. Pukul empat lewat lima belas menit. “Sebentar lagi subuh. Bapak mau salat.” Serentak istri dan anaknya saling memandang. Mereka terdiam. Mendadak mereka seperti dibungkam. Tak sepatah kata pun dapat keluar dari mulut mereka. Air mata keduanya makin deras.

Wak Tarmad bangkit. Menuju kamar kecil, ke arah kran wuduk. Istri dan anaknya masih terdiam. Terpaku. Tak dapat berbuat apa-apa. ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Terima kasih atas welas asih-Mu,’ batin istrinya. Perasaan berkecamuk tak karuan. 

Sangat senang dan bangga menyaksikan perubahan drastis sang suami. Sesuatu yang selama ini dinantikannya. Selama belasan tahun dia tersiksa akibat ulah suami. Namun tak pernah sekali pun dia menyerah. Tak pernah dia berhenti berdoa. Tak pernah putus asa menyadarkan ayah dari anak semata wayangnya. Amarah dan tindakan kasar sang suami dia telan mentah-mentah. 

Cacian dan hinaan dari para tetangga dia jadikan sebagai penguat doanya. Dan pagi ini, Allah menunjukkan kuasa-Nya. Cahaya-Nya memancarkan begitu terang. Jalan taubat telah terbuka lebar bagi sang suami.  

Azan subuh berkumandang dari mulut Wak Tarmad. Air mata terus saja mengalir dari mata istri dan anak. Pujian-pujian kepada Sang Khalik terus mengalun. Setelah iqamah, mulalilah mereka bertiga menunaikan salat. Wak Tarmad mantapkan hati menjadi imam. Ya, imam. 

Pemimpin salat. Pemimpin dalam keluarganya. Penanggung jawab dunia-akhirat istri dan anaknya. Wak Tarmad telah sadar. Insyaf. Kembali ke jalan-Nya. ■  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun