“Kurang sabar apa aku? Tiap hari Bapak cuma berjudi. Mabuk-mabukan. Pulang larut malam. Tidak pernah memikirkan keluarga.”
“Aku bilang diam! Bangsat!”
“Selama ini aku diam. Tapi Bapak malah makin menjadi. Makin tidak karuan,” suara istri Wak Tarmad mulai meninggi. “Tidak usah pulang saja sekalian.”
“Ngomong apa kamu?” Wak Tarmad marah. “Ini rumahku. Kamu numpang di sini.”
“Oh, begitu? Kalau itu maumu, besok aku akan pergi.”
Anak Wak Tarmad terbangun. Menghampiri ibunya. “Sudah, Mak,” katanya pelan. Gadis belia itu memeluk sang ibu.
Wak Tarmad bermaksud menampar istrinya. Namun, tiba-tiba terjatuh. Seolah ada yang mendorongnya. Kontan saja Wak Tarmad tersungkur, persis di depan istri dan anaknya.
Istri dan anak Wak Tarmad hanya mematung. Menyaksikan Wak Tarmad yang tak sadarkan diri. Mereka kemudian saling memandang. Anak Wak Tarmad memperhatikan ayahnya. Lalu jongkok, lebih memperhatikan. Melihat cairan busa putih keluar dari mulut Wa Tarmad. Cairan yang menyebarkan bau busuk alkohol. “Mak,” lirih suaranya.
Wak Tarmad pingsan. Istri dan anaknya ketakutan. Memanggil-manggil Wak Tarmad sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Mereka berteriak-teriak meminta pertolongan tetangga. Namun tak satu pun tetangga yang datang.
Para tetangga sudah bosan dengan kejadian seperti ini. Setiap kali Wak Tarmad mabuk berat, selalu saja tak sadarkan diri. Istri dan anaknya selalu berteriak-teriak meminta pertolongan. Mengganggu istirahat tetangga. Mengganggu ketenangan dan kenyamanan warga.
Pada awal-awal memang para tetangga berdatangan. Membantu menyadarkan Wak Tarmad. Menasihati Wak Tarmad. Tetapi, karena setiap hari terjadi, mereka bosan juga. Bahkan jijik melihat Wak Tarmad, termasuk kepada istri dan anaknya.