Mohon tunggu...
Hadi Sastra
Hadi Sastra Mohon Tunggu... Dosen - Guru, Dosen, Penulis

Hadi Sastra, seorang Guru, Dosen, dan Penulis, tinggal di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Menyukai bidang sastra, bahasa, literasi, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Insyaf

28 Juli 2021   15:51 Diperbarui: 28 Juli 2021   16:12 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Astaghfirullahal’adzim,” ucap Wak Tarmad pelan, “La ilaha illallah. Muhammadu rasulullah.” Berusaha bangkit.

“Alhamdulillah,” sahut istrinya bangga, “Bapak telah sadar.” Lalu segera membantu suami bangun. Sang anak membantunya.

Wak Tarmad menatap istri dan anaknya. Gemetar suaranya, “Bapak takut sekali,” diusapnya air mata sendiri. Istri dan anak memeluknya lagi. Mereka merasakan degup jantung Wak Tarmad kencang. Aura ketakutan menyelimuti ketiganya.

Wak Tarmad meneruskan, “Bapak masuk neraka.” Spontan istri dan anaknya terkejut. “Ya, neraka,” lanjut Wak Tarmad. “Bapak menyaksikan sendiri... neraka.”

“Maksud Bapak?” tanya sang istri. Ketakutannya makin menjadi.

“Bapak berada di neraka. Bapak melihat makhluk mengerikan. Betul-betul mengerikan. Menghancurkan tubuh Bapak,” berhenti sejenak, “Bapak menyaksikan semuanya. Tubuh Bapak hancur. Lalu utuh kembali. Hancur lagi, dan utuh lagi. Begitu seterusnya. Sakit sekali.”

“Bapak hanya bermimpi,” hibur anaknya. Sesungguhnya, dia tak menyukai ucapan sendiri. Dia yakin, apa yang disampaikan ayahnya bukan khayalan, tetapi betul-betul cerita nyata. Dia teringat, guru mengajinya pernah menceritakan tentang alam kubur. Persis seperti cerita ayahnya. Siksa kubur akan menimpa kepada siapa pun yang selama hidup di dunia berbuat aniaya. Tak taat perintah agama. Bergelimang dosa. Na’udzubillahi min dzalik. Sekujur tubuh anak Wak Tarmad merinding.

Tatapan Wak Tarmad kosong. “Bapak yakin, ini bukan mimpi.” Istri dan anak makin erat memeluk Wak Tarmad. “Maafkan Bapak.” Kemudian memeluk istri dan anaknya. Air mata mereka deras.

Wak Tarmad menatap jam dinding. Pukul empat lewat lima belas menit. “Sebentar lagi subuh. Bapak mau salat.” Serentak istri dan anaknya saling memandang. Mereka terdiam. Mendadak mereka seperti dibungkam. Tak sepatah kata pun dapat keluar dari mulut mereka. Air mata keduanya makin deras.

Wak Tarmad bangkit. Menuju kamar kecil, ke arah kran wuduk. Istri dan anaknya masih terdiam. Terpaku. Tak dapat berbuat apa-apa. ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Terima kasih atas welas asih-Mu,’ batin istrinya. Perasaan berkecamuk tak karuan. 

Sangat senang dan bangga menyaksikan perubahan drastis sang suami. Sesuatu yang selama ini dinantikannya. Selama belasan tahun dia tersiksa akibat ulah suami. Namun tak pernah sekali pun dia menyerah. Tak pernah dia berhenti berdoa. Tak pernah putus asa menyadarkan ayah dari anak semata wayangnya. Amarah dan tindakan kasar sang suami dia telan mentah-mentah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun