Buruaaaannn....”
Seorang santri terlihat meringis sambil menahan perutnya. Diketuknya berulang-ulang pintu kamar kecil. Sementara orang yang berada di dalam kamar kecil tak bergeming.
“Buruan dooong...” pintanya lagi. Keras suaranya. Namun, lagi-lagi orang di dalam kamar kecil tak bergeming.
“Aku tidak tahan lagi nih....” santri itu makin meringis. Makin kencang mengetuk-ketuk pintu.
“Sebentaaar,” suara orang di dalam kamar kecil, setengah berteriak.
Tiga menit kemudian, orang di dalam kamar kecil keluar. Seorang santri. Terlihat wajahnya lega, sambil mengelus-elus perutnya.
Pada kamar-kamar kecil di deretannya juga terjadi hal yang sama.
***
Semenjak kejadian malam Jumat itu, hampir tiap dua menit sekali tujuh orang santriwan bolak-balik berlari ke kamar kecil. Jumlah kamar kecil yang hanya lima buah, sedangkan jumlah santriwan lebih dari seratus orang mengakibatkan kamar kecil jadi rebutan. Memang sih ada empat kamar kecil yang lain, tetapi kamar-kamar itu terbuka dan di dalamnya tidak terdapat wc. Sedangkan yang dibutuhkan oleh tujuh orang santri itu adalah kamar kecil yang ada wc-nya.
Kejadian yang tak biasa ini segera merembet ke seluruh lingkungan pondok pesantren. Tidak hanya kalangan santriwan yang mengetahui, namun seluruh santriwati juga mengetahuinya. Asatiz dan dewan guru pun mengetahui. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Seringkali jadi bahan obrolan santri. Bahkan jadi bahan guyonan di antara mereka. Tak terkecuali juga bagi asatiz dan guru-guru.
Belum ada satu pun ustaz atau guru yang berani melaporkan masalah ini kepada Pak Kyai. Akan tetapi, Pak Kyai telah mendengarnya lewat desas-desus yang keluar dari mulut para santri. Pak Kyai masih belum memberikan tanggapan. Menunggu laporan dari anak buahnya. Sebab masih simpang siur berita yang sampai padanya. Istri Pak Kyai --biasa dipanggil Nyai-- menyampaikannya kepada sang suami, namun lagi-lagi Pak Kyai masih menahan. Belum berani mengeluarkan fatwa.