Mohon tunggu...
Hadi Sastra
Hadi Sastra Mohon Tunggu... Dosen - Guru, Dosen, Penulis

Hadi Sastra, seorang Guru, Dosen, dan Penulis, tinggal di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Menyukai bidang sastra, bahasa, literasi, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ampas Kopi Pak Kyai

5 Mei 2021   20:21 Diperbarui: 5 Mei 2021   20:20 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buruaaaannn....”

Seorang santri terlihat meringis sambil menahan perutnya. Diketuknya berulang-ulang pintu kamar kecil. Sementara orang yang berada di dalam kamar kecil tak bergeming.

“Buruan dooong...” pintanya lagi. Keras suaranya. Namun, lagi-lagi orang di dalam kamar kecil tak bergeming.

“Aku tidak tahan lagi nih....” santri itu makin meringis. Makin kencang mengetuk-ketuk pintu.

“Sebentaaar,” suara orang di dalam kamar kecil, setengah berteriak.

Tiga menit kemudian, orang di dalam kamar kecil keluar. Seorang santri. Terlihat wajahnya lega, sambil mengelus-elus perutnya.

Pada kamar-kamar kecil di deretannya juga terjadi hal yang sama.

***

            Semenjak kejadian malam Jumat itu, hampir tiap dua menit sekali tujuh orang santriwan bolak-balik berlari ke kamar kecil. Jumlah kamar kecil yang hanya lima buah, sedangkan jumlah santriwan lebih dari seratus orang mengakibatkan kamar kecil jadi rebutan. Memang sih ada empat kamar kecil yang lain, tetapi kamar-kamar itu terbuka dan di dalamnya tidak terdapat wc. Sedangkan yang dibutuhkan oleh tujuh orang santri itu adalah kamar kecil yang ada wc-nya.

            Kejadian yang tak biasa ini segera merembet ke seluruh lingkungan pondok pesantren. Tidak hanya kalangan santriwan yang mengetahui, namun seluruh santriwati juga mengetahuinya. Asatiz dan dewan guru pun mengetahui. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Seringkali jadi bahan obrolan santri. Bahkan jadi bahan guyonan di antara mereka. Tak terkecuali juga bagi asatiz dan guru-guru.

Belum ada satu pun ustaz atau guru yang berani melaporkan masalah ini kepada Pak Kyai. Akan tetapi, Pak Kyai telah mendengarnya lewat desas-desus yang keluar dari mulut para santri. Pak Kyai masih belum memberikan tanggapan. Menunggu laporan dari anak buahnya. Sebab masih simpang siur berita yang sampai padanya. Istri Pak Kyai --biasa dipanggil Nyai-- menyampaikannya kepada sang suami, namun lagi-lagi Pak Kyai masih menahan. Belum berani mengeluarkan fatwa.

“Tunggu waktu yang tepat,” begitu alasan Pak Kyai.

Sesungguhnya, sesuatu telah terjadi. Apa pun alasannya, tak boleh disepelekan. Harus segera dibahas. Dicari sumber permasalahan, kemudian secepat mungkin segera ditangani. Ini menyangkut banyak hal. Menyangkut perilaku dan kebiasaan. Menyangkut budaya. Menyangkut harga diri. Bahkan, yang lebih jauh adalah menyangkut nyawa.

Namun, Pak Kyai sebagai tokoh sentral di institusi itu masih menganalisis. Mengatur strategi, bagaimana menyelesaikan dengan jalan terbaik. Untuk itu, beliau harus berhati-hati. Tidak gegabah. Lagipula, belum ada laporan secara resmi.

“Tapi, kasihan anak-anak itu,” keluh Nyai, menyuguhkan segelas kopi hitam kesukaan Pak Kyai.

“Sudah dibawa ke klinik kan?” tanya Pak Kyai.

“Sudah. Bahkan sudah diberi obat lagi. Tapi rupanya belum sembuh juga.”

Pak Kyai menarik napas. Agaknya beliau mulai melunak. Lalu, beliau memanggil salah satu santriwan yang kebetulan lewat di depan kediamannya.

“Santri,” suara Pak Kyai agak kencang, lantaran jaraknya cukup jauh dengan santri tersebut.

Spontan santriwan yang dipanggil menghampiri Pak Kyai. Lalu mencium tangan Pak Kyai. “Nggih, Kyai,” sahut santriwan itu lirih, duduk bersimpuh di hadapan Pak Kyai sambil menundukkan kepala.

‘Tolong panggilkan Ustaz Tholib,” perintah Pak Kyai.

Santriwan itu bergegas melaksanakan titah sang Kyai. “Nggih, Kyai.” Kemudian mencium kembali tangan Pak Kyai, merangkak mundur dan melangkah perlahan meninggalkan Pak Kyai dan Nyai.

Tak berapa lama, Ustaz Tholib datang menemui Pak Kyai. Mencium tangan Pak Kyai. “Nyuwun sewu, Kyai. Kyai memanggil saya?” ucapnya pelan, penuh hormat.

“Ustad Tholib tentu sudah tahu,” Pak Kyai langsung membuka pembicaraan, “yang terjadi dengan beberapa santriwan kita.”

“Nggih, Kyai.”

“Kenapa tidak ada yang lapor?”

Ustaz Tholib mulai grogi. “Belum, Kyai.”

“Kok?” Pak Kyai terlihat sangat serius.

“Sudah kami tangani, Kyai.”

“Sampai sejauh mana penanganannya? Coba jelaskan!”

“Nyuwun sewu, Kyai. Memang betul ada beberapa santriwan kita yang sakit perut. Sudah tiga hari. Tapi sudah kami tangani,” terang Ustaz Tholib berhati-hati.

“Kok masih mondar-mandir ke kamar kecil?”

Ustaz Tholib, yang diamanahkan sebagai Lurah Pondok, terdiam. Dia menyadari bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan santri selama berada di lingkungan pondok adalah menjadi tanggung jawabnya penuh. Dia merasa bersalah. Dia belum berani bersuara. Menunggu arahan Pak Kyai.

“Ustaz sudah selidiki penyebabnya?”

“Sampun, Kyai. Saya dan beberapa ustaz sudah menyelidiki penyebabnya,” Ustaz Tholib makin grogi. “Sudah kami interogasi mereka.”

“Apa hasilnya?”

“Sementara ini kami belum mendapatkan jawaban yang pasti. Ada beberapa alasan. Para santriwan itu juga belum juga mau mengaku.”

“Maksudnya?” potong Pak Kyai.

“Nyuwun sewu, Kyai. Saya yang salah.”

Pak Kyai mendesah, melunak, “Saya hanya ingin tahu, kenapa bisa sampai terjadi? Penanganannya bagaimana? Lalu, kondisi mereka sekarang seperti apa?” jeda sebentar. “Jangan sampai orang tua mereka tahu, terus ada yang tidak terima. Bisa jadi masalah serius.”

Ustaz Tholib terdiam lagi. Nyai yang dari tadi menyimak juga terdiam.

“Bagaimana, Ustaz?”

“Nggih, Kyai.”

“Tadi Ustaz bilang, ada beberapa alasan yang Ustaz terima. Saya minta Ustaz menyampaikan satu saja alasan itu. Apa?”

Cukup lama, Ustaz Tholib belum juga bersuara. Dia bingung harus menyampaikan dari mana. Akhirnya, Pak Kyai kembali berbicara, “Baik, jika Ustaz tidak bisa menjelaskan sekarang, saya minta malam ini diselesaikan. Jangan berlarut-larut. Pastikan semua kondusif. Sekarang Ustaz bicarakan dengan asatiz yang lain. Bahas di forum rapat.”

“Nggih, Kyai. Matur nuwun arahannya.”

Ustaz Tholib kembali mencium tangan Pak Kyai. Kemudian beranjak meninggalkan Pak Kyai. Tetap penuh hormat.

***

            Rapat berjalan. Dihadiri Lurah Pondok, asatiz, perwakilan guru, perwakilan pengurus organisasi santri, dan tak ketinggalan tujuh orang santri yang mengalami sakit perut. Semula rapat berjalan biasa, namun ketika membahas inti permasalahan agak alot. Hal itu dikarenakan ketujuh orang santriwan tersebut masih belum mengatakan penyebab sesungguhnya. Entah.

Ustaz Tholib mulai geram, “Kalian jujur saja. Biar masalahnya cepat selesai. Kalau kalian begini terus, ya ndak akan rampung-rampung.”

Salah seorang santriwan itu pamit ke kamar kecil. Seperti biasa. Bolak-balik ke kamar kecil. Disusul seorang lagi. Dan seorang lagi. Ustaz Tholib mulai kesal. Hadirin juga kesal. Tinggal empat santriwan. Ustaz Tholib berkata tegas, “Cukup! Tidak boleh ada lagi yang izin ke kamar kecil.” Hadirin tersentak. Apalagi empat santriwan itu, wajah mereka pucat, ketakutan.

“Sekarang kamu ceritakan kronologisnya?” Ustaz Tholib menatap tajam kepada seorang santriwan di antara keempat santriwan itu.

Dengan berat, agak ketakutan bercampur perasaan malu, santriwan tersebut menyampaikan secara lengkap kronologis kejadian. Hadirin serius menyimak.

Secara runtut santriwan itu bercerita. Awal kejadiannya pada malam Jumat yang lalu. Sebagaimana agenda pondok, setiap malam Jumat, diadakan pengajian Yaasiin, Tahlil, dan ditutup dengan wejangan Pak Kyai, lalu tanya-jawab antara santri atau asatiz dengan Pak Kyai. Kegiatan ini dilakukan di aula. Kebiasaan santri, setiap selesai acara, ramai-ramai mereka berebut sisa kopi hitam Pak Kyai. Ampas kopi itu kemudian diminum secara bergiliran. Jika ampas sudah tak berarir, maka mereka akan menambah air lagi. Kemudian meminumnya. Mereka melakukannya setelah Pak Kyai meninggalkan aula.

Sebenarnya meminum ampas kopi kyai atau tokoh ulama lainnya sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Tidak hanya di pondok-pondok pesantren, namun telah merambah ke lapisan masyarakat secara luas. Sudah membudaya. Menurut keyakinan, dengan meminum ampas kopi --atau dengan menghisap puntung rokok kyai-- akan membawa berkah. Secara logika? Entahlah. Yang jelas, memang sudah membudaya. Dan diyakini.

Yang menjadi masalah adalah, ada salah satu santriwan yang memiliki ide unik. Dengan alasan menambah berkah, dia mencampurkan abu puntung rokok Pak Kyai dengan ampas kopi. Anehnya, beberapa santriwan mengetahui, namun mereka kompak. Mereka diam. Mereka menikmati perpaduan dua jenis kesukaan Pak Kyai tersebut. Alhasil, ya... perut mereka memberontak. Dan, mereka bertujuh harus merasakan akibatnya; sakit perut luar biasa.

“Begitulah, Ustaz,” santriwan itu menutup ceritanya.

“Astagfirullahalazim, kalian kelewatan,” Ustaz Tholib geram. “Coba kalau kalian cerita dari awal, tidak begini jadinya. Tidak simpang siur beritanya. Bikin panik saja. Kalau orang tua kalian tahu bagaimana? Pasti pondok yang disalahkan.” Hadirin, selain empat santriwan, juga ikut geram.

“Siapa yang mencampurkan?” lanjut Ustaz Tholib.

Santriwan yang bercerita itu tertunduk. “Saya, Ustaz.”

“Ya Allah....” Ustaz Tholib tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia segera bangkit dan berpesan kepada salah satu ustaz, “Tolong lanjutkan rapat ini. Saya mau menghadap Pak Kyai.”

Lima belas menit kemudian rapat ditutup. Ketujuh santriwan diinstruksikan menghadap Pak Kyai. Entah apa yang akan terjadi. Apa fatwa Pak Kyai nanti. Semua penasaran. Hadirin peserta rapat membubarkan diri, masuk asrama masing-masing.

***

            Hari keempat, tujuh santriwan masih bolak-balik ke kamar kecil. Hari kelima, mulai jarang ke kamar kecil. Hari keenam, mulai berkurang sakit perut mereka. Pas hari ketujuh --sesuai dengan jumlah mereka bertujuh-- mereka telah sembuh. Alhamdulillah. Ternyata Allah masih sayang terhadap mereka. Allah telah menyadarkan mereka. Mereka berjanji tak akan mengulangi lagi. Dan, berjanji tak akan berebut ampas kopi Pak Kyai lagi.©Hd

Catatan:

WC (bahasa Inggris), singkatan dari Water Closet, istilah lain dari toliet

Guyonan (bahasa Jawa), artinya: Gurauan

Asatiz (bahasa Arab yang diindonesiakan), artinya: para ustaz

Nggih (bahasa Jawa), artinya: Ya

Titah (bahasa Jawa), artinya: Perintah

Nyuwun sewu (bahasa Jawa), artinya: Mohon maaf

Sampun (bahasa Jawa), artinya: Sudah

Matur nuwun (bahasa Jawa), artinya: Terima kasih

Ndak (bahasa Jawa), artinya: Tidak

Rampung-rampung (bahasa Jawa), artinya: Selesai-selesai

Wejangan (bahasa Jawa), artinya: Nasihat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun