Ini mungkin tulisan yang paling membuat saya merasa terbawa perasaan saat menuliskannya.
Dari sekian ribu tulisan yang pernah saya posting di Kompasiana, tawaran menulis tema ini mungkin yang paling bikin melow. Jadi baper. Terbawa perasaan.
Kenapa?
Sebab, saya khawatir bila bakal dihajar kesepian di tahun 2045 seperti prediksi dari Bu Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Kok bisa begitu? Gambarannya begini.
Di tahun ini, saya menapak usia 41 tahun. Artinya, di tahun 2045 mendatang, bila ditambahkan 24 tahun, usia saya sudah 65 tahun. Semoga saya dan sampeyan (Anda) semua diberkahi umur panjang yang bermanfaat bagi banyak orang.
Usia 65 tahun tentu saja akan berbeda dari sekarang.
Rasanya aktivitas yang saya lakukan, tidak akan lagi sama seperti sekarang.
Sepertinya tidak lagi bisa bermain bulu tangkis setiap tengah pekan bersama orang-orang di perumahan yang saya tinggali. Tidak lagi bermain futsal bersama teman-teman. Tidak lagi bisa silaturahmi ke luar kota untuk bertemu kolega seperti sekarang.
Hidup mungkin akan serasa sepi karena tidak bisa lagi bersua dengan teman-teman sebaya.
Orang tua yang kesepian di masa tuanya
Namun, kesepian yang saya khawatirkan, bukan seperti yang disampaikan Bu Sri Mulyani itu.
Bahwa, perkembangan teknologi digital dapat membawa ancaman bagi mereka yang tidak melek teknologi. Hal tersebut diprediksi dapat menyebabkan banyak orang kesepian di tahun 2045.
Bukan karena itu.
Tapi, sebagai orang tua, saya mengandaikan bakal kesepian bila kelak berpisah secara fisik dengan anak-anak. Jarang bertemu dengan mereka.
Bisa karena mereka harus bekerja jauh dari rumah. Atau mungkin karena berkeluarga, membangun/membeli rumah, dan hidup bersama istri dan anak-anaknya nun jauh di sana.
Anak-anak saya sekarang memang masih bocah. Anak mbarep (sulung), berusia 10 tahun tiga bulan tiga hari. Sementara yang bungsu berusia 8 tahun 9 bulan sembilan hari.
Nah, bila ditambahkan hitungan 24 tahun ke depan, tentu usia mereka sudah matang. Si sulung akan berusia 34 tahun. Sementara si bungsu akan berusia 32 tahun.
Dulu, di usia begitu, saya Alhamdulillah sudah berkeluarga, sudah mendiami rumah bersama istri dan dua orang anak yang tentu saja tidak lagi tinggal bersama orang tua.
Kecemasan atau mungkin juga rasa overthinking yang saya rasakan sebagai orang tua tersebut, mungkin juga dibayangkan atau bahkan sudah dialami oleh beberapa orang tua.
Ya, ada banyak orang tua yang merasakan kesepian di masa tuanya. Kesepian karena penyebab yang berbeda-beda.
Ada orang tua yang kesepian karena anak-anaknya sudah berumah tangga, bekerja, dan tinggal jauh dari rumah orang tuanya. Malah ada yang tinggal di luar negeri.
Karenanya, intensitas pertemuan anak-anak dengan orang tuanya sudah sangat jarang. Bisa bertemu langsung sebulan sekali saja sudah termasuk sangat bagus.
Bagi orang tua seperti ini, perkembangan teknologi digital bukan menyebabkan kesepian. Justru, fitur-fitur baru teknologi digital, menjadi pelepas sepi mereka. Semisal lewat teknologi video call, mereka bisa bertemu muka dan kangen dengan anaknya.
Cara itu yang dilakukan istri saya ketika merindu bertemu ibunya di Jakarta.
Karena tidak memungkinkan bisa bertemu langsung setiap bulan, terlebih saat di masa pandemi Covid-19 sedang ganas-ganasnya, melihat wajah dan mengobrol via video call sudah bisa mengobati rindu.
Selain itu, ada orang tua yang kesepian karena ditinggal pergi anaknya untuk selama-lamanya. Padahal, anak tersebut selama ini yang paling sering menjenguknya karena tinggal berdekatan dengan rumahnya.
Tetapi memang, namanya jatah hidup, belum tentu mereka yang lebih tua akan selesai duluan. Banyak terjadi, yang muda 'berangkat lebih dulu'. Soal umur memang tidak ada yang tahu.
Ada pula orang tua yang merasa kesepian karena ditinggalkan ataupun 'dilupakan' oleh anak-anaknya.
Anak-anaknya yang sudah berumah tangga, sebenarnya tidak tinggal menetap di kota antar provinsi ataupun di luar negeri. Masih tinggal di dalam satu kota ataupun luar kota yan tidak begitu jauh.
Namun, karena berdalih sibuk kerja dan mengurus keluarganya, orang tuanya sangat jarang dijenguk. Palingan bisa bertemu bila ada momen hari besar keagamaan.
Bilapun sibuk dengan urusan kerja dan keluarganya sehingga sulit bertemu tapi masih rutin berkabar dengan orang tuanya melalui video call, itu masih mendingan. Masih ada perhatian.
Perihal ini, mata saya terkadang berembun ketika mendapati cerita yang dibagikan di grup WhatsApp ataupun gambar yang diteruskan di media sosial seperti Instagram.
Bahwa, ada orang tua yang membawa gawainya ke tempat tukang service handphone (HP). Dia mengira ponselnya rusak sehingga meminta tukang servis HP itu untuk membetulkannya.
Orang tua itu berpikir bahwa HP -nya rusak karena tidak pernah bisa menerima panggilan telepon. Dia mengira anak-anaknya tidak bisa meneleponnya karena HP-nya rusak.
Padahal yang terjadi tidak seperti itu. Anak-anaknya bukannya tidak bisa, tapi tidak mau meneleponnya. Anak-anaknya tidak pernah meneleponnya. Mereka mungkin membelikan orang tuanya HP baru yang canggih.
Tapi, bagi orang tua, bukan kecanggihan HP yang mereka butuhkan. Tapi, optimalisasi fungsi teknologi digital itu. Buat apa HP keren tetapi mereka tidak pernah menghubungi orang tuanya yang merindu dalam kesepian.
Agar anak-anak sayang pada orang tua
Malah, berita yang sempat viral di media bulan lalu, ada orang tua yang sengaja dititipkan oleh anak-anaknya di panti jompo.
Itu gambaran anak zaman sekarang. Gambaran anak yang tidak mau repot mengurus orang tuanya karena sibuk bekerja.
Saya sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tuanya diperlakukan seperti itu oleh anak-anaknya. Meski mungkin, dengan dititipkan, orang tuanya tidak lagi merasa kesepian karena punya banyak teman.
Tentu, setiap orang tua ingin di masa tuanya nanti, tidak merasakan kesepian.
Para orang tua, termasuk saya, membayangkan kelak di masa tua, setiap akhir pekan ataupun setiap bulan, akan dikunjungi anak-anak yang datang menjenguk bersama cucu-cucunya.
Meski mungkin hanya berkunjung sekadar satu atau dua hari. Tapi, itu tentu akan menjadi hiburan membahagiakan dan penyemangat hidup bagi orang tua.
Saya selalu senang dan terharu ketika setiap kali mendengar cerita begitu dari orang-orang tua di tempat saya bekerja dulu.
Malah, dengan hanya melihat video ataupun gambar yang berkisah seperti itu, sudah cukup untuk membuat saya gembira.
Memiliki anak-anak yang punya kepedulian pada orang tua di masa tuanya, mungkin tidak ada ilmunya yang khusus tentang itu di bangku kuliah.
Tapi, mari mengibaratkan relasi orang tua-anak ini seperti pohon yang ditanam lalu kelak bertumbuh rindang dan berbuah. Bahwa, kita bisa mulai menanamnya sekarang.
Menanam karakter baik kepada anak-anak. Mendidik mereka dengan ilmu care pada orang lain. Mau mendengar dan berbagi dengan orang lain yang membutuhkan, juga sayang pada orang tuanya.
Jika sikap baik itu yang kita tanam sejak mereka kecil, kita boleh berharap kelak mereka tumbuh menjadi anak-anak yang dekat, care, dan mau membahagiakan orang tuanya. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H