Meski, dalam hal ini, tidak bisa melihat hanya dari kepentingan satu pihak saja. Sebab, dalam penetapan kenaikan UMP, juga ada elemen pengusaha yang menggaji pekerja.
Mereka akan merasa keberatan bila kenaikan UMP nya terlalu tinggi. Terlebih ketika ekonomi sempat limbung dihantam pandemi Covid-19. Bisa jadi bakal terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja.
Beberapa tahun lalu, saya cukup sering membaca perusahaan yang berpindah dari wilayah Surabaya maupun Sidoarjo karean pengusahanya merasa penetapan Upah Minimum Kota (UMK) terlalu tinggi. Mereka berpindah ke kota/kabupaten lainnya di Jawa Timur yang UMK nya lebih rendah.
Rumah tangga bisa tetap asyik meski UMP naik sedikit
Bicara kenaikan UMP, siapapun yang menjadi pekerja, tentu punya keinginan agar besaran gajinya bisa naik setiap pergantian tahun. Termasuk saya, tukang menulis yang bekerja tidak terikat kantor, juga punya harapan sama.
Meskipun gaji saya tidak diatur oleh besaran UMP/UMK karena lebih sering berdasarkan kesepatan person to person merujuk bobot pekerjaan yang dikerjakan.
Kembali ke korelasi hari ulang tahun pernikahan dan aksi unjuk rasa pekerja terkait kenaikan UMP, ternyata ini sangat berhubungan.
Silahkan tengok pengandaian ini.
Bayangkan ada seorang pekerja lajang yang berencana menikah tahun depan. Dia berharap gajinya meningkat lumayan di tahun depan agar bisa melamar anak orang.
Namun, dengan kenaikan UMP yang minimalis, mungkin karena niatnya belum kuat, dia lantas berpikir berpuluh kali untuk menikah tahun depan. Malah mungkin berniat memundurkannya.
Bayangkan lagi, seorang kepala keluarga yang sudah memiliki anak, berharap adanya kenaikan UMP/UMK agar lebih bisa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk tabungan keluarga.
Minimal, duit gajian tidak habis untuk konsumsi rutin semisal membeli token listrik, membeli air, gas elpiji, dan makan sehari-hari. Sebab, mereka tentu ingin refreshing bersama keluarga. Atau sekadar membelikan kado sepatu dan baju baru untuk anaknya.