Penetapan UMP Jatim 2022 itu diputuskan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Timur Nomor 188/783/KPTS/013/2021 tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) Provinsi Jawa Timur Tahun 2022.
Tentu saja, keputusan penetapan UMK tidak bisa menyenangkan semua orang. Itu sudah suratan sejak dulu. Kadang, pekerjanya yang tidak puas. Kadang, pihak pengusahanya.
Dari pesan broadcast yang saya terima di beberapa grup pertemanan WhatsApp, aksi unjuk rasa itu bahkan tidak hanya dilakukan kemarin. Tapi juga berlanjut pada Jumat (26/11). Bahkan, masih berlanjut di hari Senin-Selasa pekan depan.
Perihal unjuk rasa merespons penetapan UMP ataupun jelang pengumuman UMP, sebenarnya bukan kejadian baru.
Setahu saya, aksi seperti itu sudah sejak lama ada. Seoah mentradisi. Pokoknya setiap bulan November menjelang Desember, siap-siap mendapat kabar pekerja turun ke jalan.
Meski, di tahun kemarin, tidak ada pemandangan seperti itu. Sebab, situasi pandemi Covid-19 yang tidak memperbolehkan adanya kerumunan, membuat aksi demo tidak mendapat tempat.
Malah, setahu saya, beberapa kepala daerah di Jawa Timur memiliki jurus baru untuk meredam aksi unjuk rasa ini. Ada kepala daerah yang menggelar silaturahmi buruh dengan memberikan bantuan berupa sembako maupun door prize.
Ada juga yang menggelar diskusi dengan menyerap aspirasi para buruh. Lantas menggaungkan pentingnya para pekerja untuk memiliki BPJS Ketenagakerjaan yang lantas pengurusannya akan dibantu pemerintah kota atau kabupaten setempat.
Intinya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar aspirasi bisa disampaikan secara lebih enak situasinya. Tidak perlu mengganggu para pengguna jalan.
Namun, terkait unjuk rasa, jangan menganggap aksi itu sekadar untuk 'pamer kekuatan'. Tidak bisa digebyah uyah.
Sebab, ada harapan di sana. Harapan dan keinginan untuk bisa hidup lebih sejahtera melalui kenaikan besaran UMP yang menurut mereka sudah seharusnya.