Ketika dulu bekerja di 'pabrik koran', saya dicekoki pemahaman bahwa pencapaian tertinggi bagi para wartawan adalah menulis buku.
Saya pernah mendengar pernyataan itu dari seorang wartawan senior yang dikagumi banyak orang. Wartawan tenar yang pernah menjadi pimpinan di 'pabrik koran' tempat saya dulu bekerja.
Kala itu, saya yang belum genap tiga tahun menjadi wartawan, mengamini pernyataan tersebut. Bukan hanya karena kekaguman kepada senior. Bukan pula karena kepatuhan sebagai anak buah.
Namun, lebih karena selama rentang waktu dua tahun beberapa bulan itu, saya telah merasakan bagaimana rasanya alur kerja bekerja di 'pabrik koran'.
Pagi sekali atau lebih sering pagi menjelang siang, berangkat menuju lokasi liputan. Nyaris seharian di lapangan ataupun 'mengukur jalan'. Sore kembali ke kantor. Menulis hasil liputan. Lantas, malam kembali ke rumah.
Itu belum bila ada rapat redaksi mendadak yang baru dimulai di atas pukul 22.00 malam. Bila rapatnya lama, pulang ke rumah bisa menjelang tengah malam. Sampai rumah dini hari.
Terbiasa rangkap tugas
Karenanya, dengan pola bekerja semacam itu, saya berpikiran, mustahil untuk bisa menulis sebuah buku. Kalaupun bisa, butuh manajemen waktu yang super rapi. Butuh tenaga yang prima. Juga pikiran yang encer untuk mengalirkan ide-ide menulis.
Kala itu, saya merasa tidak sanggup bila harus melakukan itu (baca menulis buku).
Bila melakoni rangkap tugas di tempat kerja, itu sudah hal biasa. Saya tidak kaget. Saya cukup sering melakukan itu.
Ambil contoh, ketika dulu ditugaskan meliput di desk pemerintahan, bila selesai menulis hasil liputan hari itu, atasan saya seringkali memberi tambahan tugas di malam hari.
Saya disuruh menelepon naraasumber politik bahkan ekonomi. Padahal, itu bukan desk saya. Itu menambah pekerjaan. Tapi karena tugas mendadak dari atasan dikarenakan adanya kejadian dadakan, ya dilaksanakan.
Namun, bila rangkap tugasnya itu menulis buku di sela rutinitas harian liputan, rasanya memang melelahkan. Lha wong bekerja 'memeras pikiran' seharian saja sudah lelah.
Lelah harus datang ke lokasi liputan, menguasai tema, menyiapkan pertanyaan, lalu mewawancara beberapa orang. lantas, menuliskannya jadi berita di kantor.
Belum bila harus menunggu orang yang akan diwawancara selama berjam-jam. Belum lagi bila kehujanan. Itu semakin menguji nyali.
Toh, saya akhirnya bisa juga menulis buku. Tepatnya ketika sudah mundur dari pabrik koran. Memutuskan pensiun dini. Ketika saya bekerja kantoran sebagai salah satu staf humas pemerintahan.
Malah, dalam waktu tidak sampai tiga bulan bisa menulis buku.
Dari situ, pemahaman bahwa menulis buku merupakan pencapaian tertinggi bagi seorang wartawan, tidak lagi saya amini. Meski, pemahaman bahwa menulis buku itu berat, tidak pernah berubah.
Lha wong saya sempat merasakan sakit thypus ketika buku jadi. Mungkin karena sedari pagi hingga sore bekerja, lantas hampir setiap hari bangun jam 3 pagi untuk memberesi naskah buku itu.
Tapi, saya jadi tahu, menulis buku itu tantangannya beda-beda. Bergantung tema buku yang ditulis. Bergantung tebal tipisnya buku. Dan bergantung mau diapakan buku itu. Untuk koleksi pribadi atau akan dijual yang tentu membutuhkan usaha berbeda.
Pencapaian tertinggi jurnalis
Seiring waktu, sejak akhir tahun 2019 lalu, saya mencoba terjun di 'dunia baru'. Bersama beberapa kawan, mencoba mengurusi media daring lokal. Maksudnya, fokus memberitakan kejadian skala lokal di kabupaten yang saya tinggali.
Selain mendirikan media, kami juga merekrut beberapa wartawan. Sebab, saya dan teman-teman tidak lagi turun langsung ke lapangan. Pendek kata, belajar menjadi atasan.
Tentu saja, pekerjaannya rangkap rangkap. Tidak hanya mengkoordinir peliputan, tapi juga mengedit tulisan dan menaikkannya ke portal medianya. Termasuk melakukan rpaat evaluasi rutin. Juga mengedukasi para wartawan muda itu perihal makna kompetensi dan etika profesi.
Belum lagi memikirkan bagaimana mencari pemasukan lewat tawaran kerja sama maupun pasang iklan di media kami. Maklum, belajar menjadi atasan tentu juga harus belajar menggaji karyawan. Meskipun masih kecil-kecilan.
Tantangannya semakin nyata karena baru berjalan beberapa bulan, pandemi Covid-19 datang menghantam. Nyaris semua sektor merasakan dampaknya. Meski, kami tetap bisa bertahan. Tetap survive.
Nah, dari belajar menjadi atasan itu, saya jadi bisa merasakan pemahaman baru. Utamanya perihal makna pencapaian tertinggi bagi seorang jurnalis.
Bagi saya, pencapaian tertinggi seorang jurnalis bukan lagi menulis buku. Namun, ketika tulisan yang mereka hasilkan, bisa bermanfaat bagi banyak orang. Bisa memberikan perubahan positif bagi pemerintah dan juga masyarakat.
Semisal ketika mereka menulis tentang adanya warga miskin di sebuah kelurahan yang luput tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.
Lantas, dari tulisan itu, ada perhatian dari pihak berwenang. Warga tersebut mendapatkan bantuan. Bahkan, rumahnya yang tidak layak, diperbaiki pemerintah atas usulan pihak legislatif.
Termasuk ketika ada temuan warga di desa yang menerima beras bantuan tidak layak dikonsumsi dengan mengutip keterangan kepala desa. Lantas, dari tulisan, bantuan untuk mereka jadi lebih bagus.
Atau, ketika tulisan yang memotret tempat publik seperti jembatan penyebarangan orang (JPO) maupun taman yang kumuh dan tidak layak pakai. Begitu juga tulisan perihal pelayanan publik yang masih perlu diperbaiki.
Bagi saya, tulisan-tulisan seperti itu bernilai luar biasa. Tidak hanya mengejar angka keterbacaan ataupun viral saja.
Namun, lewat sebuah tulisan, bisa mengubah kehidupan seseorang. Dari sebuah tulisan, perubahan baik bisa terjadi. Pelayanan publik jadi lebih baik. Tempat fasilitas publik diperbaiki.
Menurut saya, itulah pencapaian tertinggi bagi seorang jurnalis. Ketika tulisan mereka punya ruh untuk memperbaiki kehidupan orang lain dan kondisi di sekitarnya.
Karenanya, saya terkadang prihatin bila ada media yang hanya mengejar viral. Hanya mengejar cuan lewat berita-berita yang menjual sensasi. Tanpa memikirkan dampak luasnya bagi masyarakat.
Tapi, kembali lagi, makna pencapaian tertinggi setiap orang di pekerjaannya memang bisa berbeda-beda. Mungkin saja, ada yang menganggap meraih profit sebanyak-banyaknya sebagai pencapaian tertinggi.
Sementara di sisi lain, ada teman-teman pekerja media yang berpikir bagaimana bisa menghadirkan manfaat sebanyak-banyak bagi orang lain.
Nah, kalau sampeyan (Anda), apa pencapaian tertinggi dalam pekerjaan yang dijalani. Salam. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI