Ambil contoh, ketika dulu ditugaskan meliput di desk pemerintahan, bila selesai menulis hasil liputan hari itu, atasan saya seringkali memberi tambahan tugas di malam hari.
Saya disuruh menelepon naraasumber politik bahkan ekonomi. Padahal, itu bukan desk saya. Itu menambah pekerjaan. Tapi karena tugas mendadak dari atasan dikarenakan adanya kejadian dadakan, ya dilaksanakan.
Namun, bila rangkap tugasnya itu menulis buku di sela rutinitas harian liputan, rasanya memang melelahkan. Lha wong bekerja 'memeras pikiran' seharian saja sudah lelah.
Lelah harus datang ke lokasi liputan, menguasai tema, menyiapkan pertanyaan, lalu mewawancara beberapa orang. lantas, menuliskannya jadi berita di kantor.
Belum bila harus menunggu orang yang akan diwawancara selama berjam-jam. Belum lagi bila kehujanan. Itu semakin menguji nyali.
Toh, saya akhirnya bisa juga menulis buku. Tepatnya ketika sudah mundur dari pabrik koran. Memutuskan pensiun dini. Ketika saya bekerja kantoran sebagai salah satu staf humas pemerintahan.
Malah, dalam waktu tidak sampai tiga bulan bisa menulis buku.
Dari situ, pemahaman bahwa menulis buku merupakan pencapaian tertinggi bagi seorang wartawan, tidak lagi saya amini. Meski, pemahaman bahwa menulis buku itu berat, tidak pernah berubah.
Lha wong saya sempat merasakan sakit thypus ketika buku jadi. Mungkin karena sedari pagi hingga sore bekerja, lantas hampir setiap hari bangun jam 3 pagi untuk memberesi naskah buku itu.
Tapi, saya jadi tahu, menulis buku itu tantangannya beda-beda. Bergantung tema buku yang ditulis. Bergantung tebal tipisnya buku. Dan bergantung mau diapakan buku itu. Untuk koleksi pribadi atau akan dijual yang tentu membutuhkan usaha berbeda.
Pencapaian tertinggi jurnalis