Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Life Hack Pilihan

Saya, Writerpreneur, dan Ketergantungan pada Internet di Rumah

27 Juli 2021   07:30 Diperbarui: 29 Juli 2021   08:16 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagai writerpreneur, saya merasakan jaringan internet di rumah jadi kebutuhan utama. Daripada mengungsi menulis di warkop/Foto pribadi


Sebagai writerpreneur yang lebih banyak bekerja menulis dari rumah, jaringan internet di rumah menjadi kebutuhan teramat penting. Kebutuhan utama. Tidak bisa digantikan.

Bagi saya, kebutuhan jaringan internet di rumah jauh lebih penting dari televisi sekalipun dengan banyak channel.

Sehari tanpa menonton televisi tidak ada masalah. Toh, acara televisi kini tidak sebagus dulu. Kalaupun menonton TV kabel, palingan malam ketika ingin jeda menulis.

Tapi, beda cerita bila bicara jaringan internet. Sehari tanpa bisa mengakses internet dari rumah semisal karena sedang bermasalah, itu rasanya bikin stres.

Saya sudah merasakan dependensi alias ketergantungan pada jaringan internet di rumah. 

Benarkah sebegitu besarnya dampak dari internet sehingga bikin stres?

Saya bisa mengatakan itu karena pernah mengalami situasi pelik akibat dampak gangguan jaringan internet di rumah.

Pernah mengungsi ke warung kopi dan warnet

Sekira dua tahun lalu, jaringan internet di rumah pernah mendadak trouble.

Awalnya saya berpikir gangguan hanya sementara. Seperti yang sudah-sudah. Paling hanya hitungan jam lalu kembali normal.

Namun, kali ini ternyata berbeda.

Sedari pagi hingga siang belum ada kabar bagus. Hingga, muncul pemberitahuan di email dari pihak provider yang memberitahukan telah terjadi kerusakan kabel optik di lokasi A yang berdampak pada akses internet di wilayah yang saya tinggali.

Sebenarnya, lokasi kerusakannya cukup jauh dari rumah saya. Beda beberapa desa. Bahkan beda kecamatan.

Namun, dampaknya luas. Kabar buruknya, perbaikan kabel optik itu butuh waktu lama. Berhari-hari. Alasannya, tidak mudah untuk mendapatkan pengganti kabel optik itu.

Situasi itu berpengaruh pada aktivitas harian saya. Bila biasanya selepas Shubuh bisa memproduksi tulisan, memposting tulisan, ataupun mengirim tulisan via email, kali ini tidak.

Jadinya malah uring-uringan. Bikin stres. Sebab, situasi itu terjadi ketika mendekati masa deadline kerjaan memberesi sebuah majalah yang cetak bulanan.

Daripada uring-uringan, saya memutuskan untuk 'mengungsi' ke warung kopi (warkop). Pindah lokasi kerja ke warung kopi yang menyediakan fasilitas internet gratis. Tentunya sambil pesan kopi.

Bayangan saya, membawa laptop ke warkop lalu nyari tepat duduk yang enak. Pesan kopi. Menulis. Tak perlu memedulikan hiruk-pikuk pengunjung lainnya.

Yang terjadi, ternyata tidak begitu.

Sebab, di beberapa warung kopi di desa saya dan sekitarnya tidak mengizinkan penggunaan laptop. Alasannya karena menganggap 'boros kuota internet'. Utamanya bila ada yang bermain game lewat laptop.

Pernah saya sudah memesan segelas teh hangat. Baru duduk dan membuka tas laptop, si penjaganya bilang dilarang pakai laptop. Padahal di warkop itu tidak ada tulisan dilarang.

Meski sudah menjelaskan bila saya sekadar menulis di MS Word dan kirim tulisan lewat email, tapi tidak ada keringanan.

Ya sudah, setelah teh diseruput separoh, dibayar, lalu pergi. Mencari warkop lain.

Daripada galau mencari-cari warkop yang membolehkan memakai laptop, akhirnya memilih ke warung internet (warnet).

Generasi media sosial mungkin tidak kenal warnet yang memang mulai terlupakan. Padahal, di pertengahan tahun 2000-an silam, warnet adalah tempat paling hits selain rental PlayStation.

Di daerah saya, ada warnet yang masih buka. Meski sudah sepi. Tak seramai dulu ketika belum banyak orang memiliki jaringan internet di rumahnya. Palingan hanya melayani nge-print tugas anak sekolah.

Bayangkan, untuk sekadar mengirim email saja butuh perjuangan seperti itu. Dari situ, saya merasakan, internet yang lancar jaya menjadi kebutuhan utama. Tidak tergantikan.

Terlebih di masa sekolah dilakukan dari rumah imbas dari pandemi seperti sekarang, kebutuhan internet menjadi sangat penting.

Dalam urusan sekolah daring ini, saya pun merasakan kemanfaatan internet. Kegiatan sekolah dua anak saya yang kini kelas 5 SD dan kelas 3 SD, terbilang cukup padat.

Selain mendengarkan guru mengajar via Zoom, anak-anak juga memaksimalkan internet mengerjakan tugas. Di antaranya membuat video olahraga atau menyanyi, lalu mengirimkan kepada gurunya.

Terkadang, mereka juga butuh menengok channel youtube via laptop saya untuk mendukung mengerjakan tugas sekolahnya. Tentu saja, semua itu membutuhkan internet yang kencang.

Pasang internet di rumah sesuai kebutuhan

Namun, meski memasang jaringan internet di rumah memiliki banyak kemanfaatan, tetap harus disesuaikan kebutuhan. Tidak kalah penting mempertimbangkan anggaran.

Saya pun dulu baru memutuskan untuk memasang internet di rumah sejak memutuskan pensiun sebagai pekerja kantoran. Merasa internet jadi kebutuhan utama karena pekerjaan menulis bakal lebih banyak dikerjakan dari rumah.

Sebelumnya, ketika masih bekerja kantoran, pasang wifi di rumah belum jadi kebutuhan mendesak. Meski beberapa tetangga sudah pasang. Tapi saya tidak mau latah ikut-ikutan.

Saya kala itu beranggapan, kebutuhan internet di rumah sudah terwakili oleh paketan internet di ponsel.

Untuk keperluan pekerjaan menulis yang membutuhkan sambungan internet, semisal mengirim tulisan via email atau memposting tulisan di Kompasiana, cukup memakai ponsel.

Atau, disiasati dengan menulis materi tulisannya di rumah. Lantas, menuntaskannya ketika bekerja di kantor. Toh, di kantor kerjanya juga menulis. Memakai laptop yang sama. Jadi sekalian.

Pun, ketika memutuskan memasang jaringan internet di rumah, saya memilih paket yang memang sesuai kebutuhan.

Ada beberapa opsi. Ada jaringan internet saja. Ada yang plus saluran tv kabel. Itupu beda-beda. Ada yang jumlah channel TV nya sedikit hingga paling banyak. Serta ada beberapa channel unggulan. Tarif bulanannya tentu berbeda-beda.

Sementara untuk providernya, saya memilih yang 'gardu' jaringannya sudah ada di perumahan saya. Pertimbangannya, koneksinya bisa lancar jaya.

Saran saya bagi yang belum dan ingin memasang jaringan internet di rumah, sesuaikan kebutuhan.

Semisal bila sampeyan (Anda) jarang banget punya waktu untuk menonton televisi, ya tidak perlu memilih berlangganan paket paling mahal wifi plus channel TV paling banyak.

Sebab, buat apa bayar mahal-mahal bila ternyata kita tidak bisa menikmatinya. Cukup pilih yang menengah saja. Ada channel TV tapi 'seadanya saja'.

Atau, bila memang hanya butuh internet dan merasa cukup menonton saluran TV nasional dan lokal sudah cukup, ya pilih berlangganan jaringan internet saja. Lebih murah dan efisien.

Tetapi memang, dengan berbagai perubahan yang terjadi sebagai dampak pandemi seperti bekerja dari rumah dan sekolah dari rumah, kebutuhan internet menjadi salah satu yang terpenting selama setahun belakangan.

Namanya butuh, tentu kita harus bisa mengambil manfaat. Kalau nggak ada manfaat berarti ya bukan kebutuhan. Tapi sekadar untuk gaya-gayaan saja. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Life Hack Selengkapnya
Lihat Life Hack Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun